Sabtu, 01 Agustus 2020

Iphone 11


Kotak putih berdesain minimalis itu masih tergeletak di atas meja kantor. Plastik transparan pembungkusnya masih melindungi kotak persegi panjang itu. Seolah paham bahwa pemiliknya telah menguras tabungannya untuk memiliki benda itu.

“Cara memindahkan chat WA dari android ke Iphone”

Begitu jemariku mengklik tombol enter, 235.000 hasil pencarian tampil di layar search engine Google. Mataku spontan menelusuri sembilan artikel yang muncul di laman pencarian pertama. Sebuah aplikasi bernama Dr. Fone menarik perhatianku. Hampir semua artikel yang kutemui menyarankanku untuk mengunduh aplikasi tersebut.

Tak puas hanya membaca artikel, halaman Youtube menjadi tujuanku berikutnya. Rupanya aplikasi berlogo tanda tambah itu memang sudah difavoritkan oleh pengguna Android yang hijrah menjadi pengguna Apple.

Sial, aplikasi yang didominasi warna biru putih itu rupanya tak dapat digunakan secara maksimal jika diunduh secara cuma-cuma. Demi menyelamatkan chat Whatsapp-ku, mau tak mau aku harus merogoh kocek tambahan. Tak mungkin rasanya aku membiarkan semua percakapanku hilang begitu saja mengingat semua pekerjaanku terbenam di sana.


Sebagai budak korporat yang bertanggungjawab di bagian digital marketing, chat ini menjadi senjata ampuhku setiap kali ada agency yang melenceng dari brief yang kuberikan. Bukti chat ini menjadi penting tatkala terjadi hal-hal di luar ekspektasi. Misalnya, konten Instagram yang tak mengindahkan brand guidance perusahaan (walaupun kuakui, seringkali eksekusi yang tak dibatasi banyak aturan kerapkali lebih menarik perhatian audience. Tapi ... ahh, sudahlah, hidup sudah sulit. Aku tak ingin bermasalah dengan atasanku cuman karena idealismeku yang muncul di waktu tak tepat)

“Kamu benar-benar barang mahal ya”, ucapku pelan sambil mengeluarkan sebuah ponsel yang digadang-gadang sebagai mahakarya Steve Jobs.

Dengan hati-hati, kuletakkan ponsel berwarna hijau mint itu di atas tumpukan berkas materi promosi yang tak ada habisnya. Sepasang kamera boba yang menempel cantik di sudut kiri Iphone itu seolah mencibir perlakuanku yang ekstra waspada.

Sebagai pengguna baru produk Apple, kuakui, jumlah tabungan yang kubayarkan di website resmi Ibox jauh dari kata murah. Akibatnya, muncul semacam tekanan untuk menjaga benda mungil ini sebaik-baiknya.

Tak hanya harga perangkatnya yang membuatku merasa tercekik, aksesoris yang harus kulengkapi juga menjadi alasan meningkatnya frekuensi lemburku akhir-akhir ini. Untuk memastikan benda ini tak tergores, aku memilih sebuah casing transparan yang (lagi-lagi) jauh dari kata murah.

Huft, bahkan di saat kupikir bahwa casing handphone adalah benda mahal terakhir yang perlu kubeli di akhir bulan, rupanya masih ada aplikasi Dr. Fone yang harus kuunduh demi melindungi karirku di dunia digital marketing.

Lembur Lagi, Lagi Lembur
Photo by Lee - Canva

“Mau pesan apa nih?” kalimat Stefan, salah satu rekan kerjaku, sontak mengembalikan kesadaranku.

Empat jam terakhir, perhatianku tersita oleh konsep peluncuran produk baru motor Sport. Di tengah pandemi corona, digital marketing menjadi pusat perhatian bos besar (sebutan yang diberikan untuk kepala divisi Sales & Marketing). Mau tak mau, pekerjaanku bertambah. Ada puluhan revisi yang sudah kulalui untuk memantapkan konsep yang kutawarkan.

Usai mengirim konsep baru tersebut ke agency, otakku kembali bekerja sebagaimana mestinya. Iphone 11 berwarna hijau mint itu kembali menjadi pusat duniaku #lebay mode on#

Percayalah, ini pertama kalinya aku bersikap senorak itu terhadap sebuah benda. Maklum, iphone 11 ini adalah benda termahal yang pernah kubeli dengan uangku sendiri. Otakku bahkan kerap kali mengkonversi berapa hari yang harus kuhabiskan di kantor ini untuk membeli ponsel apik itu.

Aku menarik napas lega tatkala proses pemindahan chat Whatsappku berlangsung mulus. Refleks, ku scroll chat Whatsapp di layar Iphone-ku. Aku perlu memastikan bahwa semua chat itu sempurna berpindah dari ponsel Android ke produk berlogo apel itu.  

Bahkan, saking sempurnanya proses pemindahan itu, aku baru menyadari bahwa semua chatmu juga tersimpan rapi di sana. Bukan hanya di ruang chat antara kita, tapi juga di bagian starred messages.

Tahu kan fitur starred messages di Whatsapp? Awalnya, aku menggunakan fitur ini untuk menyimpan percakapan penting terkait  urusan pekerjaan digital marketing sehingga aku tidak perlu men-scroll chat panjang kali lebar dengan agency. Dengan fitur ini, otomatis percakapan penting yang kutandai akan tersimpan dalam satu tempat yang sama.

Sialnya, fitur ini juga kugunakan untuk menandai percakapan favoritku denganmu. Bodoh bukan? Fitur penting macam Starred Messages ini memang sewajarnya digunakan untuk hal-hal penting terkait pekerjaan. Tapi, mungkin, waktu itu, aku sendiri yang dengan sukarela menempatkanmu dalam bagian penting hidupku.  

Ingin rasanya kuabaikan semua pesan singkatmu yang kutandai dengan Starred Messages seperti kamu yang dengan mudahnya mengabaikanku di hari-hari terakhir kebersamaan kita. Seperti kamu yang tak perlu bersusah payah bersikap seolah-olah status kita tak pernah lebih dari rekan kerja. Bahkan di saat seperti ini pun aku masih bisa menyebut “kita”, sebuah kata yang pernah terasa nyata, lalu berangsur-angsur menjadi bayangan imajinasiku.

Kalau kamu berpikir pengabaianmu adalah bagian yang tak kan pernah bisa kumaafkan, kamu salah besar.

Berakhir tanpa kejelasan mungkin adalah bagian cerita kita yang tidak bisa sulit kumaafkan. Bagian yang akan selalu membuatku bertanya-tanya. Bagian yang memaksaku menganalisa dimana letak kesalahanku dalam kisah singkat itu. Bagian yang membuat malamku dipenuhi tanda tanya antara awal dan akhir. Bagian yang membuatku tenggelam (atau mungkin kata “ditenggelamkan”) di antara rasa bersalah, keterbatasanku, dan juga ketidakdewasaanku. Bagian yang membuatku ragu untuk terus melangkah maju. Bagian yang membuatku terjebak di antara keputusasaan, kebingungan, dan juga rasa gengsiku. Bagian yang membuatku bertanya apa arti “kita” selama ini. Bagian yang membuatku bertanya apakah semua paragraf yang tertulis hanya seonggok kalimat tanpa makna.

Huft, lelah berkutat dengan pekerjaan rupanya membuatku tak mampu berpikir logis. Aku tahu, tak seharusnya aku membaca semua pesanmu yang kusimpan dalam fitur Starred Messages. Apalagi membacanya berdasarkan kronologi waktu.

Membaca ulang sebuah pesan secara runut selalu memancing runtutan cerita yang pernah terbentang antara kamu dan aku. Cerita yang pernah indah pada masanya, lalu berakhir buruk pada waktunya.
Bodohnya, sepasang mataku malah terperangkap dalam kalimat-kalimat yang pernah kamu tujukan padaku. Mencoba mengingat momen manis apa sedang terjadi kala pesan tersebut kuterima. Menelaah kembali maknamu yang pernah menggoreskan warna cerah dalam hari-hariku yang selalu terjerat dengan sibuknya pekerjaan. Melihat kembali benang merah antara aku dan kamu, yang kini telah berubah menjadi sesuatu yang kusut dan sulit terurai.

Sial, sial, sial! Mengapa lembur kali ini dipenuhi oleh bayangmu. Seolah ada kekuatan yang lain yang memaksaku terpaku pada pesan-pesanmu yang kusimpan dalam fitur Starred Messages.

Aku bahkan tak tahu berapa lama yang telah kuhabiskan untuk memandangi pesanmu. Mungkin sebagian diriku tak ragu ingin menghapus namamu dari fitur Starred Messages-ku. Namun, sebagian lainnya tak siap kehilangan namamu  yang telah lama menjadi penghuni tetap Whatsapp-ku.


Hhh, aku menghembuskan nafas pelan. Harum nasi goreng memenuhi ruangan. Pertanda waktu telah menunjukkan pukul sembilan malam.

Divisiku punya kebiasaan unik. Teman-temanku memilih menunda makan malam hingga pukul sembilan. Mereka percaya, seenak apapun makanan yang dipesan akan terasa hambar tatkala deadline pekerjaan menghantui. Biasanya, kami berkumpul di meja panjang sambil mengeluhkan nasib budat korporat yang kerapkali dikejar-kejar tenggat waktu.

Kuletakkan Iphone 11 yang belum genap seminggu menjadi milikku. Perutku berbunyi pelan seolah menanyakan jatah makan malamnya hari ini.

Arghh, sudahlah. Untuk apa menghabiskan waktu memikirkan manusia yang bahkan tak punya keberanian untuk memberikan penjelasan sebelum berpisah. Sia-sia rasanya menyisihkan energi untuk orang yang usianya sembilan tahun lebih tua dariku, tapi kedewasaannya patut dipertanyakan karena tak punya nyali untuk menjelaskan keputusan yang diambilnya terkait hubungan kami. Terlalu sayang rasanya membuang nafasku untuk meminta penjelasan atas pertanyaan yang selalu berputar di benakku.

Lebih baik aku segera menikmati nasi goreng yang masih mengepulkan uap panas itu sambil memikirkan cara untuk mengganti tabunganku yang sudah terkuras oleh benda mungil yang kini tergeletak di mejaku.



With love,
Bells

Rabu, 19 Februari 2020

SIM dan STNK


Pagi Valentine yang kelabu

“Mohon maaf sekali lagi ya, Pak,” aku menatap pria setengah baya yang tengah berjongkok di depan bemper mobil. Sekali lagi ia memastikan bahwa penyok tersebut masih bisa ditanganinya.

Pria setengah baya tersebut tersenyum sambil menatapku prihatin.

“Engga apa-apa, Mbak. Mbak sudah ada yang jemput?”

Perhatianku spontan teralihkan dari bemper mobil yang penyok ke layar smartphone yang tengah kugenggam.

Sial, tak ada notifikasi baru yang mampir ke Whatsapp. Spontan aku berdecak ketus. Kenapa laki-laki itu mengabaikan pesanku sepagian ini? Apa sih hal penting yang sedang dilakukannya sampai ia tega membiarkanku menunggu balasannya sampai berjam-jam? Mengapa ia harus menghilang di saat aku membutuhkannya?

Firasatku mengatakan percuma menunggu kehadirannya untuk menjemputku di tempat les menyetir yang berlokasi hanya selemparan batu dari tempat tinggalku.


Sambil menahan perasaan jengkel yang mulai membuncah, jemariku cekatan menekan tombol-tombol di layar ponsel. Aku tak ingin membuang waktu lebih lama lagi berdiri di depan mobil yang kugunakan untuk latihan menyetir satu jam lalu.

Berada di depan kendaraan tersebut cuman akan mengingatkanku tentang kebodohanku dalam mengemudi. Percayalah, aku juga tidak mengerti kenapa aku dengan bodohnya justru menginjak gas di saat aku seharusnya menekan pedal rem. Kepadatan lalu lintas serta rasa gugup yang kurasakan sanggup mengacaukan sistem kerja otakku.  

Sebelum akhirnya membenturkan mobil latihan mengemudiku ke bagasi mobil Toyota Rush berwarna hitam, aku sudah banyak melakukan kesalahan. Mulai dari salah memberikan lampu sein, gegabah mengambil jalur orang lain pada saat berbelok, hingga kesulitan memperkirakan jarak antara mobil yang kukemudikan dengan kendaraan roda dua yang memenuhi jalanan.

Sebagai orang yang perfeksionis, sulit rasanya memaafkan kecerobohanku. Kalau saja ini sesi latihan pertama, mungkin akan lebih mudah buatku untuk memaafkan tidakmampuanku menyetir. Masalahnya, ini bukan sesi latihanku yang pertama. Bukan pula yang keempat atau kelima. Ini kali ke empat belas aku mengikuti sesi latihan menyetir mobil.

Tahun lalu, aku sempat mengambil paket latihan yang terdiri dari sepuluh kali pertemuan. Karena aku lebih sering menggunakan Transjakarta dan KRL untuk berpergian, sepuluh sesi latihan mengemudi itu terbuang sia-sia.


Bukannya aku malas berlatih menyetir. Pertanyaannya, siapa juga sih yang sanggup duduk berjam-jam meladeni kemacetan Jakarta yang semakin parah dari waktu ke waktu. Sementara pada akhir, bepergian bersama laki-laki yang sudah mengisi hari-hariku selama tiga tahun terakhir membuatku lebih banyak duduk manis di bangku penumpang.

Setelah susah payah bertempur melawan keenggananku sendiri, akhirnya aku memutuskan untuk mengambil paket latihan lagi. Toh aku sudah mencantumkan skill mengemudi sebagai resolusi yang ingin kucapai tahun ini.

Belum lagi tak selamanya aku bisa mengandalkan orang lain untuk mengantarkanku kemana saja. Biarpun ayahku tak pernah keberatan mengantarjemputku, tak enak juga rasanya melihat ia berjibaku di kepadatan lalu lintas Jakarta yang sama sekali tak bersahabat sementara aku cuman berpangku tangan di sampingnya.

Percayalah, kalau suatu saat aku akhirnya berhasil mengemudikan kendaraan beroda empat dengan lancar di jalan raya, aku akan merayakannya dengan rasa syukur yang luar biasa. Memang kedengarannya berlebihan untuk orang-orang yang bahkan dapat menyetir tanpa perlu mengikuti kursus terlebih dahulu.


Namun untukku, berada di balik kemudi setir bukanlah perkara mudah. Jantungku spontan berdegup lebih cepat untuk alasan yang tak kumengerti. Keringat dingin mulai membanjiri telapak tanganku. Kedua tanganku kaku memutar setir mobil sambil sesekali mendorong tuas persneling. Belum lagi rasa gugup yang membuatku kakiku kagok bergantian menginjak kopling, gas, dan rem.

Menyetir juga membuat indera penglihatanku bekerja ekstra keras. Tak cuman menatap ke depan, aku diwajibkan memastikan kondisi lalu lintas di belakang mobil sekaligus mengecek motor yang kerap kali menyelinap melalui kaca spion.

Sial, keberadaan kendaraan roda dua di sekitar mobil yang kukemudikan selalu membuatku gugup. Bagaimana tidak, mereka kerap kali menyelinap tanpa memikirkan jarak aman. Celah sekecil apapun seolah harus dimanfaatkan semaksimal mungkin untuk menyalip kendaraan lainnya.

Seolah kegelisahanku belum sempurna, ketidakmampuanku memperkirakan jarak yang terbentang antara mobilku dengan sekeliling refleks membuatku kebingungan setiap kali aku melalui jalan sempit. Aku bahkan tak bisa memperkirakan sejauh aku harus membanting setir setiap kali melalui tikungan kecil.

“Mbak Vivi ya?” seorang tukang gojek menghampiriku.

Aku menganggukan kepala. Tanpa banyak komentar, aku mengenakan helm yang disodorkannya. Rasa pegal di kakiku lenyap seketika tatkala aku menghempaskan tubuhku ke jok Honda PCX yang luas dan nyaman.

“Pak Heri, aku duluan ya. Sori ya merepotkan terus,” aku tersenyum tulus pada guru les menyetirku, yang mungkin sedang berangan-angan untuk mendepakku dari daftar muridnya.

“Hati-hati, Mbak Vivi,” Ahh, bahkan pria itu masih tulus membalas kalimatku. Sungguh rasa bersalahku langsung berlipat ganda.


14.00

Ngomong-ngomong soal hari Valentine, sebenarnya aku punya firasat buruk ketika akhirnya aku memutuskan untuk pergi les menyetir hari ini. Wong pada hari biasa saja, les menyetir selalu mampu menjungkirbalikkan mood-ku. Apalagi di hari spesial semacam Valentine ini

Harusnya aku sadar betul, pergi les menyetir di hari Valentine bukanlah pilihan yang tepat. Masalahnya, aku tak punya opsi lain. Weekend ini aku harus menghadiri event launching produk yang sudah puluhan kali kuulangi. Maka ketika akhirnya aku mengambil cuti di hari Jumat yang mendung ini, tanpa pikir panjang, aku mendaftarkan diri untuk satu sesi latihan di pagi hari.

Toh aku juga tak punya rencana spesial untuk mengisi hari Valentine.

Laki-laki yang biasanya mengajakku dinner di malam Valentine sedang sibuk bekerja di kantor. Bahkan saking sibuknya, ia bahkan tidak dapat meluangkan semenit pun untuk membalas pesanku tadi pagi.

Sebenarnya aku maklum. Aku hafal betul kebiasaannya. Jika aku tak punya skill mengemudi yang baik, laki-laki yang pernah menyatakan cintanya padaku tiga tahun silam itu tak punya skill multitasking yang mumpuni.


Dahinya akan berkerut serius ketika menyelesaikan pekerjaan yang membutuhkan banyak konsentrasi. Bibirnya terkunci rapat, mengabaikan obrolan teman-teman sekantornya. Ekspresi wajahnya dengan akurat menggambarkan keinginannya untuk tidak diganggu. Seolah dunia di sekelilingnya menjadi kabur. Hanya ada dirinya dan pekerjaan yang sedang ditekuninya.

18.45

Vii, sori! Ada yang urgent seharian ini. Aku otw ke sana ya.

Aku melengos menatap pesan Whatsapp-nya. Setelah 18 jam mengabaikanku di hari Valentine, dengan mudahnya ia mengirimkan pesan sesingkat itu untuk membayar kesalahannya.

Hanya butuh waktu lima detik untuk membalas pesannya dengan satu kata, terserah.

Sial, mood-ku belum juga membaik. Tidur siang yang lelap tak mampu menguapkan rasa kesalku. Menangis selama satu jam karena merasa tak berguna juga tak segera menghilangkan perasaan bersalahku.


Menghabiskan waktu dengan menyendiri di kamar banyak memberiku ruang untuk berpikir. Sempat terbersit di pikiranku bahwa mungkin aku tidak ditakdirkan untuk menyetir dengan mandiri. Jangan-jangan aku selamanya akan berlarian di antara kepadatan stasiun KRL dan halte Transjakarta.

Entahlah, tiba-tiba aku mempertanyakan diriku sendiri. Sampai kapan sih aku akan merepotkan orang lain untuk mengantarjemputku? Kapan sih aku bisa mandiri berpergian dengan mengemudikan mobilku sendiri? Apakah selamanya aku akan kesulitan mencari tumpangan saat aku harus menghadiri event hingga larut malam?

Lalu bagaimana pula nasib Honda Brio merah yang sedang kucicil selama setahun terakhir ini? Apakah kendaraan beroda empat itu selamanya akan mendekam di garasi mobil? Lalu sesekali digunakan oleh adikku untuk menjemput pacarnya?

Sial, bahkan adikku yang berusia empat tahun lebih muda dariku sudah mahir mengemudikan kendaraan beroda empat. Hhh.

20.05
“Kamu udah makan?”

Aku menatapnya yang sedang melepas sepatu pantofel, menggulung lengan kemeja biru favoritnya, untuk kemudian menghempaskan diri di sofa yang empuk.


Untuk sesaat, hanya gemuruh hujan yang mengisi keheningan di ruang tamu rumahku. Ia sibuk membuka kantong plastik berisi bungkusan makanan.

“Sori ga ngajak dinner kemana-mana di hari Valentine ini. Meeting-nya sampe malem banget tadi.”

Ia menyodorkan sekotak nasi goreng Bakmi GM kesukaanku. Lalu meletakkan sekotak nasi capcay yang selalu menjadi pilihannya di meja coklat ruang tamu.

“Kenapa? Bete karena aku menghilang seharian? Atau karena ayah-ibumu pergi sementara kamu harus di rumah sendiri?” Ia menghembuskan napas panjang, seolah dengan begitu, ia dapat melepaskan semua rasa lelahnya.

“Engga. Biasa aja.” Aku mulai membuka kotak pembungkus bernuansa kuning cerah. Harum khas nasi goreng kesukaanku menyeruak memenuhi ruangan.

“Kalo ngomongnya ‘biasa aja’ artinya ga biasa ya?” Ia tersenyum jenaka, setengah meledekku sambil menepuk-nepuk pundakku.

“Loh, kok nangis?” Spontan ia menarik tanganku yang sedang menyuap nasi goreng. Sejujurnya, aku sudah lapar setengah mati karena aku tak menyantap makanan sama sekali seharian ini. Sebelum les menyetir, perutku tak merasa lapar sama sekali karena membayangkan satu jam berapa di balik kemudi setir. Usai les menyetir, otakku bahkan terlalu lelah untuk mencerna apapun.

“Kenapa?” Laki-laki itu kemudian memilih diam dan duduk di sampingku. Ia tahu, percuma saja memaksaku bicara di saat yang paling kubutuhkan hanyalah diam.


Setelah sepuluh menit membiarkanku tenggelam dalam isakan, ia masih mengelus-elus pundakku pelan. Kalau aku berada di posisinya, pasti aku sudah tak sabar bertanya “kenapa” untuk kedua kalinya.   

Ia cuman diam memandangiku dengan heran.

Walaupun aku jengkel setengah mati karena ia sempat menghilang dari peredaran, toh aku tak punya pilihan lain selain bercerita kepadanya.

Sambil berusaha menahan air mata yang memenuhi pelupuk indera penglihatanku, mengalirlah kejadian tadi pagi dari mulutku.

“Apa aku emang ditakdirkan untuk ga bisa menyetir? Kamu tau kan sudah berapa kali aku ikut kursus menyetir?” ucapku sambil terisak.

Ia menarik napas pelan. Memandangku yang masih menangis seperti anak kecil yang kehilangan coklat kesukaannya.

“Apa selamanya aku ga akan punya SIM? Ya udah, cuman buang-buang uang untuk kursus. Terus lupa lagi caranya nyetir. Kayaknya aku ga akan pernah punya SIM,” sambungku dengan frustasi.

Selama beberapa menit, ia hanya terdiam, seolah memberiku jeda untuk menenangkan diriku sendiri.

“Udah nangisnya?” Cuman dua kata itu yang terucap dari bibirnya.

Aku tersenyum tipis dengan responnya. Gemas rasanya cerita panjangku cuman direspon sesingkat dua kata.

Percayalah, tak mudah buatku untuk menangis di depan orang lain. Entahlah, kadang aku merasa menangis itu erat kaitannya dengan kata lemah atau minta dikasihani. Sebagai manusia yang seringkali mengutamakan gengsi, tentu aku tak ingin minta dikasihani oleh siapapun.

Sialnya, air mataku mudah sekali menetes di depan laki-laki yang selalu menjadi tumpuanku berbagi. Bahkan aku tak pernah merasa gengsi menitikkan air mata di hadapan laki-laki yang telah menjadi tempatku bersandar selama tiga tahun terakhir.


Bullshit kalo aku bilang, ‘ya udah ga apa-apa. Suatu saat kamu pasti bisa nyetir kok’. Kamu juga tahu kalo itu omong kosong.”

Aku menatapnya dengan pandangan kosong. Mungkin keinginanku memiliki SIM hanya akan menjadi angan belaka.

“Skarang udah puas belum nangisnya? Kalo udah, makan dulu nasi gorengnya. Kamu galak kalo lagi laper,” Ia menyodorkan bungkusan nasi goreng ke hadapanku.

Setelah memastikan tangisanku sudah usai, ia melanjutkan “Jangan jadiin tabrakan tadi sebagai tolak ukur kemampuanmu menyetir. Tabrakan tadi tuh ga berarti kamu ga akan bisa menyetir selamanya. Kalo soal udah ngeles berkali-kali, tapi masih belum lancar nyetir, ya udah, gimana lagi. Yang penting kamu sudah berusaha kan? Kamu tetap pergi les menyetir. Aku bisa bayangin betapa sulitnya buat kamu untuk pergi ke tempat les nyetir. Makanya, ga usah sedih kalo belum bisa nyetir. Semua ada waktunya, Vi.”

Aku memandangnya perlahan. Mencoba memahami makna setiap kalimat yang diucapkannya.
“Itu kalau soal belajar nyetir ya. Tapi kalau kamu kepengen banget punya SIM sekarang juga, ga usah khawatir, Vi.”

“Maksudnya?” Aku menuntut penjelasannya. Kalau ia menyuruhku untuk mendapatkan SIM dengan cara yang tidak jujur, lebih baik ia tak usah datang sekalian di hari Valentine ini. Parahnya, berarti ia tidak benar-benar mengenalku. Seharusnya ia tahu betul aku ingin memperoleh SIM itu dengan cara yang sewajarnya.

Belum sempat aku mencecarnya lebih jauh, ia menyodorkan dua buah kartu yang terbuat dari karton ke tanganku.


“Selamat hari Valentine, Beb. Aku tau kamu akhir-akhir ini stress karena masalah ga bisa nyetir. Ini aku kasih SIM dan STNK sementara ya. Kamu belajar nyetir yang bener ya supaya dapat SIM beneran. Untuk dinner-nya, nyusul ya sehabis projekku kelar dan ga ribet lembur lagi. Oke?” Ia mengecup keningku pelan.

Aku memandangi dua kartu yang diukir dengan tulisan tangannya yang begitu khas. Entah darimana idenya ia menuliskan SIM sebagai singkatan dari Surat Ijin Mencintai dan STNK sebagai kepanjangan dari Surat Tanda Naksir Kamu.

Sebuah perasaan hangat memenuhi hati tatkala melihat usahanya. Aku yakin, tak mudah baginya untuk membuat kreativitas semacam ini.

“Sori ya seharian ini aku menghilang. Seharian ini meeting-ku padat banget. Terus pas jam istirahat, aku buru-buru ke Gramedia untuk beli karton ini. Kamu tau kan aku paling ga bisa mengerjakan keterampilan tangan semacam ini?” Ia tertawa kecil melihat hasil kerjanya yang kini sudah berpindah ke tanganku.


Air mataku kembali menetes dengan alasan yang berbeda. Ia selalu ada di sini. Ia hadir dalam setiap cerita yang kutulis. Ia selalu mengupayakanku dalam kesibukannya dan ketidakmampuannya dalam ber-multitasking. Ia membantuku mengepakkan sayap lebih jauh melalui eksistensinya. Ia menopangku di saat aku sendiri tak mampu berdiri tegak di atas kakiku sendiri

“Terima kasih, Eci. Makasih udah selalu ada di sini,” aku memeluknya erat, memastikan bahwa ia adalah bagian hidup yang tak akan pernah kulepaskan.






Notes :
Hai, guys! First of all, HAPPY VALENTINE 😊 Sebenernya sempet galau mau kasih happy ending atau sad ending untuk cerita ini. Tapi berhubung ini masih nuansa Valentine, aku memutuskan untuk mengakhiri cerita ini dengan happy ending 😊 Mumpung masih nuansa Valentine, yuk, jangan lupa menunjukkan kasih sayang ke orang-orang yang kita kasihi karena kasih tanpa perbuatan itu adalah suatu hoax semata #aseeek #edisiBellabijak . Anyway, kabar menghebohkan soal kematian Ashraf Sinclair tentunya memberikanku pelajaran untuk ga gengsian dalam menunjukkan kasih sayang itu sendiri. Karena kita ga pernah tahu kapan terakhir kali orang itu berada dalam genggaman kita. Have a lovely Valentine everyone 😊






With love,
Bells

Sabtu, 08 Februari 2020

Bandara

16.30

“Di luar masih hujan?”

Aku menganggukan kepala sebagai respon atas pertanyaan tersebut.

Melihat responku, spontan teman semejaku menggurutu pendek, mengeluhkan cuaca mendung yang menyelimuti langit Jakarta semenjak pagi.

Tak hanya mendung, hujan rintik setia mengguyur kota beton ini di Jumat pagi. Seolah ingin meredupkan suasana “Thanks God It’s Friday” yang selalu ditandai dengan macetnya mobil yang berjibaku di jalanan, pengapnya polusi udara yang mengganggu pejalan kaki, dan ramainya pusat perbelanjaan yang dipenuhi manusia yang berlomba untuk memenuhi kebutuhannya atau sekadar bersosialisasi menjelang akhir pekan.

Jam dinding di sudut ruang kantor terus berdetak. Mengabaikan keresahan penghuni kantor akan sulitnya menembus hujan sepulang kerja. Belum lagi kemacetan yang semakin menjadi akibat derai hujan.

Dengan resah, aku memasukkan laptop ke dalam tas. Bergegas kurapikan berkas yang berserakan di meja kerjaku. Tak kupedulikan lagi berbagai email yang kerap kali membuatku terpaksa membuka laptop di akhir pekan. Toh kebanyakan aku tak punya rencana khusus di akhir pekan, kecuali ia datang mengunjungiku seperti hari ini.

Lima belas menit berlalu tanpa hasil yang berarti. Tak satupun taksi online yang sudi mengantarku dari jalanan Sudirman yang macet menuju bandara.

Sial, apakah ini artinya aku harus menyetop taksi di pinggir jalan?

Aku membuka aplikasi chatting berwarna hijau. Memastikan bahwa status pesan terakhir yang kukirim belum berubah menjadi centang dua. Syukurlah, pasti ia belum mendarat di bandara Soekarno Hatta. Semoga saja aku tiba di bandara sebelum ia menjejakkan kaki keluar dari pesawat.

17.30

Tentu saja masalahku tak berhenti sampai di situ. Usai nekat menyetop taksi biru yang melintas di depan kantor, kemacetan yang entah dimana ujungnya sudah membentang di hadapanku.

Berbekal sekotak tisu, aku mulai mengeringkan bajuku yang dipenuhi butiran air hujan. Kusisir rambutku yang mulai lepek akibat berjam-jam berjibaku dengan berbagai laporan khas akhir bulan.

Kuakui, aku bukan orang yang fleksibel sama sekali. Hujan deras dan kemacetan yang menggila mampu membangkitkan keresahanku. Perubahan rencana yang mendadak bukan hal yang mampu kutangani. Aku menyukai segala sesuatu yang teratur, terencana, dan berjalan sesuai dengan apa yang sudah kuurutkan sedemikian rupa.


Tetes air hujan terus menampar kaca bening taksi biru yang kutumpangi. Lampu kendaraan berbaris-baris memenuhi jalanan.

Sial, tak ada yang bisa kulakukan di tengah kemacetan ini selain memandangi layar smartphone-ku dan melamun sambil menatap ke luar jendela.

Omong-omong soal bandara, aku selalu menyukai tempat itu dengan segala kepelikannya. Mengamati manusia-manusia berkoper yang berlari mengejar waktu adalah kesenangan tersendiri bagiku. Kesibukan di loket tiket, orang-orang yang tergesa-gesa berlalu lalang, suara mesin pesawat yang sesekali memenuhi udara, dan hiruk pikuk khasnya yang selalu membuatku terpesona.



Bagian favoritku? Tentu saja menyaksikan momen ketika manusia memiliki tujuannya masing-masing yang tercetak jelas dalam selembar tiket. Ya, tujuan kemana ia akan melangkah selanjutnya. Tujuan yang menjadi kompas penunjuk arah kemana ia harus mengarahkan layarnya. Tujuan yang selalu memberi alasan seseorang untuk terus bertahan. Tujuan yang sanggup menggerakkan seseorang untuk tetap berjalan walau beribu alasan terhampar di hadapannya.

Tujuan yang membuat manusia memiliki alasan untuk tetap hidup di antara ketidakpastian yang seringkali membuat ragu.

Begitu juga tujuanku ke bandara di malam Sabtu yang sama sekali tak bersahabat ini. Apalagi tujuannya kalau bukan menemui laki-laki yang raganya berjarak ratusan kilometer dariku, tapi hadirnya selalu meredamkan semua kebingunganku di masa quarter life crisis ini. Sosok yang mampu membuatku berhenti menoleh ke belakang dan tegak mengarah ke depan.

Hhh, aku menghembuskan napas pelan, yang segera membingkai menjadi embun.

Mungkin pertemuan mendadak ini juga tentang sebuah tujuan. Tujuanku di umurku yang resmi menginjak masa quarter life crisis pada November kemarin. Tujuannya yang selalu gamang berada di antara ambisi pribadinya dan kebersamaan kami yang tak terbilang mudah. Tujuan kami dalam hubungan yang seringkali oleng karena ketidakdewasaanku dan pemikirannya yang berada jauh dari jangkauanku.

19.25

“Terima kasih, Pak. Lebihnya ambil saja ya”

Kalimat itu seolah menjadi penutup kebersamaanku dengan supir taksi yang bergegas melaju cepat sekaligus menjadi awal kisahku di bandara pada sore yang mendung ini.

Pandanganku bergegas mencari sosok yang kerap kali menjadi tujuanku ketika menginjakkan kaki di bandara. Ramainya penumpang yang berlalu lalang membuatku kesulitan untuk segera menemukannya dalam keramaian. Belum lagi berbagai pengumuman yang berkumandang melalui loud speaker membuatku semakin gugup.

Tepukan pelan seseorang di pundakku refleks membuatku menoleh ke belakang.

Ia berdiri di sana. Ia yang selalu berhasil menemukanku terlebih dahulu, tak peduli seberapa sulitnya situasi.

Mengenakan kemeja coklat muda dan celana hitam, ia bergegas menggandeng lenganku. Seulas senyum tulus terukir di bibirku. Ia ada di sini, berdiri di sampingku.


“Mau pesan taksi sekarang?” aku mulai sibuk membuka aplikasi di ponselku.

“Kalau kita ngobrol dulu di kafe itu gimana?” Ia menunjuk sebuah kafe berinterior cantik di sudut bandara.

Aku memandangi wajahnya, mencoba mencari tahu apa yang disembunyikan sosok yang telah mengisi hari demi hariku selama empat tahun terakhir.

Pertemuan yang mendadak, senyumnya yang terasa asing, dan ajakannya untuk duduk sejenak di bandara memaksa otakku untuk berpikir keras.

Jantungku spontan berdegup cepat ketika menyadari tangannya bebas menggandeng lenganku karena tak ada koper yang biasanya membebani langkahnya. Ada apa sebenarnya dengannya? Atau mungkin pertanyaan yang lebih tepat ialah, ada apa sebenarnya dengan kami?

19.35


Hiruk pikuk suasana kafe sungguh berbanding terbalik dengan kebisuan yang membentang di antara kami.

Usai memesankan segelas americano untuknya dan caramel macchiato untukku, ia berdeham pelan. Lalu menggaruk kepalanya, gerakan khasnya yang mengindikasikan bahwa ada sesuatu yang penting yang ingin dibicarakannya.

“Tadi macet?”

Aku tersenyum  kecil. Pertanyaan basa-basinya yang membuatku semakin gugup.

“Ada apa?” Sial, akhirnya dua kata itu meluncur juga dari bibirku. Dua kata yang sejak tadi sudah tertahan di ujung lidah. Dua kata yang membentuk sebuah pertanyaan sederhana, namun sanggup memancing cerita pelik yang mungkin sudah lama menanti untuk diceritakan.


Pelayan yang mengantar gelas-gelas kopi memecah kebisuannya, seolah memberinya sedikit jeda untuk berpikir sebelum menjawab pertanyaanku.

Aku menyeruput kopiku pelan. Caramel macchiato kesukaanku tiba-tiba terasa hambar di indera pengecapanku.

Kesunyian yang tercipta di antara kami seolah menjawab semua pertanyaan yang menghantui benakku beberapa bulan terakhir ini.

Pertanyaanku tentang jawabannya yang terasa singkat di Whatsapp. Tentang teleponnya yang tak lagi seintens dulu. Tentang nada suaranya yang tak lagi sesumringah dulu tatkala aku bercerita. Tentang cerita sehari-harinya yang tak pernah lagi dibaginya denganku. Dan juga tentang betapa hambar respon yang diberikannya ketika kata rindu itu terucap dari bibirku, sesuatu yang ia tahu selalu sulit kuucapkan karena gengsiku (yang disebutnya) setinggi langit.

Rasanya ia tak perlu membuka bibirnya lagi untuk menjelaskan apa yang berubah di antara kami. Hal-hal yang berubah tanpa kusadari, atau mungkin aku sebenarnya menyadarinya, tapi terlalu takut untuk menanyakannya.

“Aku rasa ...” Ia memberi jeda yang cukup untuk membuatku sadar bahwa ia sedang berupaya mencari kata yang tepat untuk mendeskripsikan hubungan kami.

“sepertinya hubungan kita ga bisa dilanjutkan lagi.” Ia menyelesaikan kalimat yang telah dimulainya, sekaligus menyelesaikan segala alasan yang membuat kami bertahan dalam hubungan jarak jauh ini.
Aku memandang wajahnya yang tengah menatap lurus ke arahku. Wajahnya yang menunggu jawaban dariku.

“Oke.” Hanya sepatah kata itu yang sanggup terucap dari bibirku.

Ia masih menatap lurus ke sudut mataku, mencoba menerka apa yang tengah berkecamuk di pikiranku. Mencoba memahami mengapa aku tak bertanya sedikitpun mengenai alasan berakhirnya hubungan kami.

“Kenapa?” Gantian ia yang hanya mengucapkan sepatah kata.

Sesungguhnya aku tak perlu bertanya mengenai makna tanya “kenapa” yang disodorkannya kepadaku. Egonya jelas terluka dengan respon singkatku yang tak sedikitpun mempertanyakan alasan di balik keputusan yang diambilnya tanpa melibatkanku di dalamnya. Sorot matanya nampak kecewa, mungkin ia pikir aku akan menghujaninya dengan berbagai tanya.

“Ga apa-apa,” ujarku sembari menahan air mata yang mulai menumpuk di sudut mataku.


Ia masih memandangku dengan sorot mata terluka. Jawabanku tadi seolah membuat hubungan kami selama ini tak ada harganya sama sekali. Tatapannya menghujam ke arahku, menyuarakan protes akan respon yang mungkin tak diduganya sama sekali.

Aku menarik napas panjang, berusaha mengumpulkan sisa-sisa tenaga yang masih tersisa usai berjibaku dengan pekerjaan kantor dan jalanan macet yang meresahkanku sepanjang Jumat sore yang kelabu ini.

“Kenapa?” Ia masih menuntut jawabanku.

Karena kita ga pernah bisa menahan seseorang yang ingin melangkah keluar dari hidup kita. Bukan cuman karena setiap orang berhak menentukan kemana ia ingin berjalan, tapi menahan seseorang untuk pergi adalah suatu kesia-siaan yang tak ingin kulakukan. Percuma, mungkin aku bisa menahan kepergianmu saat ini dengan air mata yang sedang mati-matian kutahan. Karena toh aku tahu betul kamu paling tidak bisa melihatku menangis. Namun, sekembalinya kamu ke kotamu, yang tersisa hanyalah aku dan perasaan resah yang mungkin akan selalu menghantuiku karena takut kehilanganmu sekali lagi. Perasaan tak nyaman yang akan selalu timbul ketika menyadari perubahan sikapmu yang perlahan tapi pasti. Rasa takut bersaing dengan alasan kepergianmu hari ini, alasan yang sudah lama memasuki kehidupanmu tanpa bisa kucegah karena ragaku yang berjarak ratusan kilometer darimu.

Andai bibirku mampu mendialogkan kalimat yang sudah tersusun rapi dalam benakku, tentu ia akan berhenti memandangiku dengan perasaan terluka.

Sayangnya, aku hanya mampu memandanginya. Berusaha menyimpan segala kenangan tentangnya. Tentang sosoknya yang telah lama menjadi kekuatanku untuk bertumpu. Tentang sosoknya yang menjadi tujuanku untuk berlabuh di akhir hari yang panjang dan melelahkan.


Lima belas menit berlalu begitu saja. Tak satupun dari kami sanggup memecah keheningan. Hanya bising bandara yang mengisi jarak di antara kami. Hingga panggilan bagi penumpang tujuan Surabaya memenuhi udara.

Ia memandangku sekali lagi, memastikan bahwa sosok perempuan di hadapannya tak punya sedikitpun niat untuk menghalangi kepergiaannya.

“Kamu sering bilang ke aku, kamu ga akan pernah mencoba menahan kepergian siapapun dalam hidupmu. Aku sempet mikir kalo aku ga termasuk dalam kategori ‘siapapun’. Tapi ternyata aku salah. Terima kasih sudah menjadi alasanku untuk bertahan selama ini. Terima kasih telah menjadi tujuanku selama beberapa tahun ini.”

Ia bangkit berdiri, mengecup keningku pelan. Lalu berjalan kembali ke dalam bandara usai membayar dua cangkir kopi yang masih termangu di atas meja. Meninggalkanku dan buliran air mata yang perlahan membasahi pipiku.

Sial, bahkan di saat menyedihkan semacam ini, air mataku masih terlalu gengsi untuk muncul di hadapannya.

22.15


Aku menghabiskan beberapa jam di bangku kafe sebelum akhirnya memutuskan untuk berjalan pulang.

Sekali lagi, aku mengedarkan pandanganku, menjelajah sudut bandara. Tempat bersejarah yang menyimpan semua rinduku untuknya. Tempat hiruk pikuk dimana sunyi seringkali menyeruak tatkala aku memandangi kepergiannya usai menemuiku selama 2 x 24 jam. Tempat dimana manusia selalu memiliki tujuan yang tercetak dalam bentuk selembar tiket, sama seperti sosoknya yang pernah menjadi tujuanku dalam suatu masa kehidupan.










Note :
Hai, pembaca budiman yang baik hati, tidak sombong, dan rajin menabung. Hehehehe. Hayo, siapa yang suka ninggalin komen berupa “ini pengalaman pribadimu ya, Bellsss?”. Hmm, gengs, percayalah, aku ga pernah punya kisah sedramatis ini. Hiks. Ini hanyalah karangan belaka yang dibumbui oleh imajinasi yang muncul pas aku lagi bengong-bengong-santuy di atas gojek selama 45 menit atau berimajinasi di gerbong kereta selama 30 menit setiap menempuh perjalanan Bintaro-Sunter ataupun sebaliknya.

Anyway, thank you for reading this blog. It really really means a lot to me.  ðŸ˜Š





With love,
Bells


Rabu, 29 Januari 2020

Happy Birthday



Jumat, 15 November 2019

Aku memandangi kalender yang membisu di meja kerjaku. Sekilas, kulirik jam dinding yang menimbulkan suara detak yang khas. Tak pelak lagi, waktu sudah menunjukkan pukul sembilan malam. Pantas saja, nuansa sepi nan lenggang memenuhi lorong kantorku.

Masih ada tiga jam yang harus kulalui sebelum tanggal 15 November berganti menjadi 16 November. Sial, apa sih yang kutunggu? Memangnya apa yang akan berubah pada Sabtu besok? Bukannya besok cuman Sabtu seperti Sabtu yang lainnya? Apakah aku begitu membutuhkan alasan untuk sekadar menyapa dan menanyakan kabarnya?

Ups, apa kataku tadi? Menanyakan kabarnya? Kenapa pula aku ini. Mungkin kebanyakan lembur di kantor sendirian hingga larut malam membuatku memikirkan hal-hal yang seharusnya tidak kupikirkan.


Sial. Sial. Sial.

Dua minggu lalu, berbagi cerita dengannya terasa senatural bangun di pagi hari. Hmm, maksudku, setiap manusia memang akan bangun di pagi hari bukan? Tak ada yang istimewa. Sampai suatu ketika seseorang tak dapat membuka mata di pagi hari. Di momen itulah rasa syukur baru timbul, menyadari bahwa bangun pagi bermakna lebih dari sekadar membuka mata yang dilanjutkan dengan rutinitas.  

Hhhh, siapa yang menyangka, 7 x 24 jam kemudian, momen itu lenyap begitu saja. Sosok yang selalu ada untuk mendengar cerita remeh temehku menjelma menjadi bayangan yang sulit terjangkau. Jangankan bercerita panjang lebar, sekadar mengucapkan “good morning” saja aku tak bernyali.

Tak peduli dengan keresahanku, jam dinding terus berdetak. Jarum pendek sudah menunjukkan angka 11. Setengah pasrah, aku memandangi layar monitor di hadapanku yang menampilkan sejumlah konsep training yang sudah menyita perhatianku seminggu terakhir. Huft, dua jam berlalu begitu saja tanpa perkembangan berarti.


Sebagai Trainer Executive di sebuah perusahaan retail, membuat konsep training yang selalu harus diperbarui mengikuti keinginan managerku yang tak terbatas, melakukan visit ke toko-toko untuk memastikan materi training tersebut dieksekusi dengan tepat, dan melakukan evaluasi secara berkala merupakan makananku sehari-hari.  Jadi, seharusnya, berjibaku dengan konsep training, seperti yang tengah kulakukan saat ini, bukanlah hal yang sulit.

Bukan hal yang sulit seandainya perasaanku tak sedang berseberangan dengan logikaku. Perasaanku yang mendorong jemariku untuk mengetikkan namanya di Whatsapp. Kembali membuka percakapan terakhir yang telah mengkristal menjadi memori. Selanjutnya, seperti biasa, logikaku memaksaku menghapus kalimat yang telah susah payah kurangkai. Sementara perasaanku sibuk memutar ulang semua kebersamaan yang terlanjur terukir.


Sial. Sial. Sial.

Entah sudah berapa kata umpatan mengalir dari mulutku malam ini. Kesunyian ini justru semakin memecah konsentrasiku.

Di satu sisi, aku tak ingin menit demi menit berlalu secepat ini. Aku masih membutuhkan beberapa jam lagi untuk mematangkan konsep ini sebelum menampilkannya di meeting besok pagi. Di sisi lain, sulit rasanya menampis perasaanku yang jelas-jelas ingin segera menyaksikan jarum pendek melenggang ke angka 12, momen dimana akhirnya aku punya secuil alasan untuk sekadar menyapanya.


Sabtu, 16 November 2019

Sial. Waktu sudah menunjukkan pukul 00.05.

Menyerah dengan konsentrasiku yang semakin buyar, kututup layar laptop yang masih menampilkan slide demi slide powerpoint berisi ide-ide training yang sudah kususun dengan susah payah.

Dengan gontai, aku melangkah, melewati lorong kantor yang senyap. Kesunyian yang tidak keperlukan di saat-saat seperti ini. 

Sebuah taksi biru yang ngetem di depan kantorku menjadi pilihan pertamaku setibanya di lobby.

Udara malam semakin dingin. Jalanan lenggang. Tak seorang pejalan kaki pun yang melintas. Sesekali kendaraan berlalu-lalang dengan kecepatan tinggi, seolah ada tujuan yang harus segera dicapai.

Skenario yang terhampar di hadapanku semakin menggenapkan kebingunganku. Tuhan seolah-olah tengah menguji perasaanku, memastikan apakah masih ada sedikit rasa yang tertinggal antara aku dan laki-laki yang berulangtahun di tanggal 16 November ini.


Peduli amat dengan rasa gengsi. Tujuh hari tanpanya adalah sesuatu yang asing bagiku. Tujuh hari tanpanya bukanlah tujuh hari yang biasa kulalui. Tujuh hari tanpanya adalah sesuatu yang masih perlu kupelajari sedikit demi sedikit.

Setelah berulangkali menghapus pesan yang kuketik, akhirnya berhasil juga kutekan tombol send di aplikasi Whatsapp.


“Happy birthday! Semoga di ulangtahun kali ini, kamu semakin bahagia. Semakin bijak dengan pilihan-pilihan hidup yang kamu buat. Semakin sukses di karir. Semakin jago main futsalnya! Hehehe. Gue bingung sebaiknya gue ngomong ini atau engga, but I miss you a lot. Gue kangen sama lo. Udah itu aja. Doain gue supaya cepet move on dari lo ya 😉. Semoga WA gue ini ga menghancurkan mood ulangtahun lo! Once again, happy birthday! 😊



Entah apa yang merasukiku sehingga aku bisa segamblang itu membicarakan perasaanku. Sebagai manusia yang termasuk dalam kaum serba gengsian, percayalah, aku pun tak percaya bahwa aku mampu menuliskan pesan semacam itu.

“Bu, sudah sampai,” ucapan supir taksi sontak memutus lamunanku.


Sesampainya di apartemenku, aku bergegas menuju shower. Aku cuman ingin berhenti memikirkannya. Berhenti memikirkan reaksinya ketika menerima pesanku. Berhenti membayangkan bagaimana kecewanya perasaanku jika ia memutuskan untuk tidak membalas pesanku. Berhenti membayangkan berapa banyak keresahan yang akan timbul di otakku sampai ia memutuskan untuk membalas pesanku.

Sambil mengeringkan rambut, kutatap layar ponselku yang berkedip-kedip. Pertanda bahwa ada pesan Whatsapp yang menungguku.


“Hai, thank you! Makasih masih inget utah gue ya. Makasih untuk semua wishes-nya. Gue juga kangen kok sama lo. Banget. Setiap pagi, gue refleks buka WA dan keinget untuk ngucapin good morning ke lo. Setiap hari, gue bertanya apakah keputusan ini adalah keputusan yang tepat. Kadang gue juga mikir apa lebih baik kita balik kayak dulu lagi. Tapi untuk saat ini, gue percaya ini adalah keputusan terbaik. Semoga kita segera menemukan orang yang tepat di waktu yang tepat!”


Aku menghirup udara sedalam-dalamnya. Berusaha mengusir perasaan mencekik yang muncul tanpa bisa kucegah.

Sebaris senyum terukir di bibirku. Sebuah pemahaman baru terbentuk. Perasaan lega memenuhi hatiku.

Menghabiskan waktu bersamanya adalah salah satu momen terbaik dalam hidupku. Menertawakan lelucon recehnya yang khas boleh jadi akan selalu kurindukan. Menceritakan segala keluh kesahku padanya adalah hal yang menentramkanku pada masanya. Janji bertemu dengannya menjadi semangatku untuk terus berlari dan bertahan. Ia pernah menjadi salah satu kekuatan terbesar yang kumiliki.

Namun kehadirannya tak selalu berarti bahagia. Bahagia bersamanya berarti perasaan nyaman yang diliputi kabut kebingungan tentang seberapa besar rasa sayangnya untukku. Kenyamanan bersamanya berarti ketentraman yang diliputi keresahan tentang mengapa ia tak cukup memberikan effort untuk kami. Lelah juga rasanya berlari sejauh ini bersamanya dengan pertanyaan yang selalu memenuhi benakku.

Kehadirannya memang bukan tanpa alasan. Eksistensinya dalam hidupku mengajarkan beberapa hal baru yang tak pernah kupahami sebelumnya. Rasa sayang tanpa tindakan adalah cara terbaik untuk membunuh perasaan itu sendiri. Pertanyaan yang muncul setiap kali ia menghilang tanpa kejelasan bisa jadi pertanda yang tak boleh diabaikan.

Selamat ulang tahun. Selamat bertambah tua.



With love,
Bells