Kotak putih berdesain minimalis
itu masih tergeletak di atas meja kantor. Plastik transparan pembungkusnya
masih melindungi kotak persegi panjang itu. Seolah paham bahwa pemiliknya telah
menguras tabungannya untuk memiliki benda itu.
“Cara memindahkan chat WA dari
android ke Iphone”
Begitu jemariku mengklik tombol enter,
235.000 hasil pencarian tampil di layar search engine Google. Mataku
spontan menelusuri sembilan artikel yang muncul di laman pencarian pertama.
Sebuah aplikasi bernama Dr. Fone menarik perhatianku. Hampir semua artikel yang
kutemui menyarankanku untuk mengunduh aplikasi tersebut.
Tak puas hanya membaca artikel,
halaman Youtube menjadi tujuanku berikutnya. Rupanya aplikasi berlogo tanda
tambah itu memang sudah difavoritkan oleh pengguna Android yang hijrah menjadi
pengguna Apple.
Sial, aplikasi yang didominasi
warna biru putih itu rupanya tak dapat digunakan secara maksimal jika diunduh secara
cuma-cuma. Demi menyelamatkan chat Whatsapp-ku, mau tak mau aku harus
merogoh kocek tambahan. Tak mungkin rasanya aku membiarkan semua percakapanku
hilang begitu saja mengingat semua pekerjaanku terbenam di sana.
Sebagai budak korporat yang
bertanggungjawab di bagian digital marketing, chat ini menjadi
senjata ampuhku setiap kali ada agency yang melenceng dari brief
yang kuberikan. Bukti chat ini menjadi penting tatkala terjadi hal-hal
di luar ekspektasi. Misalnya, konten Instagram yang tak mengindahkan brand
guidance perusahaan (walaupun kuakui, seringkali eksekusi yang tak dibatasi
banyak aturan kerapkali lebih menarik perhatian audience. Tapi ... ahh,
sudahlah, hidup sudah sulit. Aku tak ingin bermasalah dengan atasanku cuman
karena idealismeku yang muncul di waktu tak tepat)
“Kamu benar-benar barang mahal
ya”, ucapku pelan sambil mengeluarkan sebuah ponsel yang digadang-gadang
sebagai mahakarya Steve Jobs.
Dengan hati-hati, kuletakkan
ponsel berwarna hijau mint itu di atas tumpukan berkas materi promosi yang
tak ada habisnya. Sepasang kamera boba yang menempel cantik di sudut kiri Iphone
itu seolah mencibir perlakuanku yang ekstra waspada.
Sebagai pengguna baru produk
Apple, kuakui, jumlah tabungan yang kubayarkan di website resmi Ibox
jauh dari kata murah. Akibatnya, muncul semacam tekanan untuk menjaga benda
mungil ini sebaik-baiknya.
Tak hanya harga perangkatnya yang
membuatku merasa tercekik, aksesoris yang harus kulengkapi juga menjadi alasan
meningkatnya frekuensi lemburku akhir-akhir ini. Untuk memastikan benda ini tak
tergores, aku memilih sebuah casing transparan yang (lagi-lagi) jauh dari
kata murah.
Huft, bahkan di saat kupikir
bahwa casing handphone adalah benda mahal terakhir yang perlu kubeli di
akhir bulan, rupanya masih ada aplikasi Dr. Fone yang harus kuunduh demi
melindungi karirku di dunia digital marketing.
Lembur Lagi, Lagi Lembur
Photo by Lee - Canva
“Mau pesan apa nih?” kalimat
Stefan, salah satu rekan kerjaku, sontak mengembalikan kesadaranku.
Empat jam terakhir, perhatianku
tersita oleh konsep peluncuran produk baru motor Sport. Di tengah pandemi
corona, digital marketing menjadi pusat perhatian bos besar (sebutan
yang diberikan untuk kepala divisi Sales & Marketing). Mau tak mau,
pekerjaanku bertambah. Ada puluhan revisi yang sudah kulalui untuk memantapkan
konsep yang kutawarkan.
Usai mengirim konsep baru
tersebut ke agency, otakku kembali bekerja sebagaimana mestinya. Iphone
11 berwarna hijau mint itu kembali menjadi pusat duniaku #lebay mode on#
Percayalah, ini pertama kalinya
aku bersikap senorak itu terhadap sebuah benda. Maklum, iphone 11 ini adalah
benda termahal yang pernah kubeli dengan uangku sendiri. Otakku bahkan kerap
kali mengkonversi berapa hari yang harus kuhabiskan di kantor ini untuk membeli
ponsel apik itu.
Aku menarik napas lega tatkala
proses pemindahan chat Whatsappku berlangsung mulus. Refleks, ku scroll
chat Whatsapp di layar Iphone-ku. Aku perlu memastikan bahwa semua chat itu
sempurna berpindah dari ponsel Android ke produk berlogo apel itu.
Bahkan, saking sempurnanya proses
pemindahan itu, aku baru menyadari bahwa semua chatmu juga tersimpan rapi di
sana. Bukan hanya di ruang chat antara kita, tapi juga di bagian starred
messages.
Tahu kan fitur starred messages
di Whatsapp? Awalnya, aku menggunakan fitur ini untuk menyimpan percakapan
penting terkait urusan pekerjaan digital
marketing sehingga aku tidak perlu men-scroll chat panjang kali
lebar dengan agency. Dengan fitur ini, otomatis percakapan penting
yang kutandai akan tersimpan dalam satu tempat yang sama.
Sialnya, fitur ini juga kugunakan
untuk menandai percakapan favoritku denganmu. Bodoh bukan? Fitur penting macam
Starred Messages ini memang sewajarnya digunakan untuk hal-hal penting terkait
pekerjaan. Tapi, mungkin, waktu itu, aku sendiri yang dengan sukarela
menempatkanmu dalam bagian penting hidupku.
Ingin rasanya kuabaikan semua
pesan singkatmu yang kutandai dengan Starred Messages seperti kamu yang dengan
mudahnya mengabaikanku di hari-hari terakhir kebersamaan kita. Seperti kamu yang
tak perlu bersusah payah bersikap seolah-olah status kita tak pernah lebih dari
rekan kerja. Bahkan di saat seperti ini pun aku masih bisa menyebut “kita”,
sebuah kata yang pernah terasa nyata, lalu berangsur-angsur menjadi bayangan
imajinasiku.
Kalau kamu berpikir pengabaianmu
adalah bagian yang tak kan pernah bisa kumaafkan, kamu salah besar.
Berakhir tanpa kejelasan mungkin
adalah bagian cerita kita yang tidak bisa sulit kumaafkan. Bagian yang
akan selalu membuatku bertanya-tanya. Bagian yang memaksaku menganalisa dimana
letak kesalahanku dalam kisah singkat itu. Bagian yang membuat malamku dipenuhi
tanda tanya antara awal dan akhir. Bagian yang membuatku tenggelam (atau
mungkin kata “ditenggelamkan”) di antara rasa bersalah, keterbatasanku, dan
juga ketidakdewasaanku. Bagian yang membuatku ragu untuk terus melangkah maju.
Bagian yang membuatku terjebak di antara keputusasaan, kebingungan, dan juga
rasa gengsiku. Bagian yang membuatku bertanya apa arti “kita” selama ini.
Bagian yang membuatku bertanya apakah semua paragraf yang tertulis hanya
seonggok kalimat tanpa makna.
Huft, lelah berkutat dengan
pekerjaan rupanya membuatku tak mampu berpikir logis. Aku tahu, tak seharusnya
aku membaca semua pesanmu yang kusimpan dalam fitur Starred Messages. Apalagi
membacanya berdasarkan kronologi waktu.
Membaca ulang sebuah pesan secara
runut selalu memancing runtutan cerita yang pernah terbentang antara kamu dan
aku. Cerita yang pernah indah pada masanya, lalu berakhir buruk pada waktunya.
Bodohnya, sepasang mataku malah
terperangkap dalam kalimat-kalimat yang pernah kamu tujukan padaku. Mencoba
mengingat momen manis apa sedang terjadi kala pesan tersebut kuterima. Menelaah
kembali maknamu yang pernah menggoreskan warna cerah dalam hari-hariku yang
selalu terjerat dengan sibuknya pekerjaan. Melihat kembali benang merah antara
aku dan kamu, yang kini telah berubah menjadi sesuatu yang kusut dan sulit
terurai.
Sial, sial, sial! Mengapa lembur
kali ini dipenuhi oleh bayangmu. Seolah ada kekuatan yang lain yang memaksaku terpaku
pada pesan-pesanmu yang kusimpan dalam fitur Starred Messages.
Aku bahkan tak tahu berapa lama
yang telah kuhabiskan untuk memandangi pesanmu. Mungkin sebagian diriku tak
ragu ingin menghapus namamu dari fitur Starred Messages-ku. Namun, sebagian
lainnya tak siap kehilangan namamu yang
telah lama menjadi penghuni tetap Whatsapp-ku.
Hhh, aku menghembuskan nafas
pelan. Harum nasi goreng memenuhi ruangan. Pertanda waktu telah menunjukkan
pukul sembilan malam.
Divisiku punya kebiasaan unik. Teman-temanku
memilih menunda makan malam hingga pukul sembilan. Mereka percaya, seenak
apapun makanan yang dipesan akan terasa hambar tatkala deadline
pekerjaan menghantui. Biasanya, kami berkumpul di meja panjang sambil
mengeluhkan nasib budat korporat yang kerapkali dikejar-kejar tenggat waktu.
Kuletakkan Iphone 11 yang belum
genap seminggu menjadi milikku. Perutku berbunyi pelan seolah menanyakan jatah
makan malamnya hari ini.
Arghh, sudahlah. Untuk apa menghabiskan
waktu memikirkan manusia yang bahkan tak punya keberanian untuk memberikan
penjelasan sebelum berpisah. Sia-sia rasanya menyisihkan energi untuk orang
yang usianya sembilan tahun lebih tua dariku, tapi kedewasaannya patut dipertanyakan
karena tak punya nyali untuk menjelaskan keputusan yang diambilnya terkait
hubungan kami. Terlalu sayang rasanya membuang nafasku untuk meminta penjelasan
atas pertanyaan yang selalu berputar di benakku.
Lebih baik aku segera menikmati
nasi goreng yang masih mengepulkan uap panas itu sambil memikirkan cara untuk
mengganti tabunganku yang sudah terkuras oleh benda mungil yang kini tergeletak
di mejaku.
With love,
Bells
Tidak ada komentar:
Posting Komentar