Jumat, 15 November 2019
Aku memandangi kalender yang membisu di meja kerjaku. Sekilas,
kulirik jam dinding yang menimbulkan suara detak yang khas. Tak pelak lagi,
waktu sudah menunjukkan pukul sembilan malam. Pantas saja, nuansa sepi nan
lenggang memenuhi lorong kantorku.
Masih ada tiga jam yang harus kulalui sebelum tanggal 15 November
berganti menjadi 16 November. Sial, apa sih yang kutunggu? Memangnya apa yang
akan berubah pada Sabtu besok? Bukannya besok cuman Sabtu seperti Sabtu yang
lainnya? Apakah aku begitu membutuhkan alasan untuk sekadar menyapa dan
menanyakan kabarnya?
Ups, apa kataku tadi? Menanyakan kabarnya? Kenapa pula aku
ini. Mungkin kebanyakan lembur di kantor sendirian hingga larut malam membuatku
memikirkan hal-hal yang seharusnya tidak kupikirkan.
Sial. Sial. Sial.
Dua minggu lalu, berbagi cerita dengannya terasa senatural
bangun di pagi hari. Hmm, maksudku, setiap manusia memang akan bangun di pagi
hari bukan? Tak ada yang istimewa. Sampai suatu ketika seseorang tak dapat
membuka mata di pagi hari. Di momen itulah rasa syukur baru timbul, menyadari
bahwa bangun pagi bermakna lebih dari sekadar membuka mata yang dilanjutkan
dengan rutinitas.
Hhhh, siapa yang menyangka, 7 x 24 jam kemudian, momen itu
lenyap begitu saja. Sosok yang selalu ada untuk mendengar cerita remeh temehku
menjelma menjadi bayangan yang sulit terjangkau. Jangankan bercerita panjang
lebar, sekadar mengucapkan “good morning” saja aku tak bernyali.
Tak peduli dengan keresahanku, jam dinding terus berdetak.
Jarum pendek sudah menunjukkan angka 11. Setengah pasrah, aku memandangi layar
monitor di hadapanku yang menampilkan sejumlah konsep training yang sudah menyita perhatianku seminggu terakhir. Huft, dua
jam berlalu begitu saja tanpa perkembangan berarti.
Sebagai Trainer Executive di sebuah perusahaan retail,
membuat konsep training yang selalu
harus diperbarui mengikuti keinginan managerku yang tak terbatas, melakukan
visit ke toko-toko untuk memastikan
materi training tersebut dieksekusi
dengan tepat, dan melakukan evaluasi secara berkala merupakan makananku
sehari-hari. Jadi, seharusnya, berjibaku
dengan konsep training, seperti yang
tengah kulakukan saat ini, bukanlah hal yang sulit.
Bukan hal yang sulit seandainya perasaanku tak sedang
berseberangan dengan logikaku. Perasaanku yang mendorong jemariku untuk
mengetikkan namanya di Whatsapp. Kembali membuka percakapan terakhir yang telah
mengkristal menjadi memori. Selanjutnya, seperti biasa, logikaku memaksaku
menghapus kalimat yang telah susah payah kurangkai. Sementara perasaanku sibuk
memutar ulang semua kebersamaan yang terlanjur terukir.
Sial. Sial. Sial.
Entah sudah berapa kata umpatan mengalir dari mulutku malam
ini. Kesunyian ini justru semakin memecah konsentrasiku.
Di satu sisi, aku tak ingin menit demi menit berlalu secepat
ini. Aku masih membutuhkan beberapa jam lagi untuk mematangkan konsep ini
sebelum menampilkannya di meeting
besok pagi. Di sisi lain, sulit rasanya menampis perasaanku yang jelas-jelas
ingin segera menyaksikan jarum pendek melenggang ke angka 12, momen dimana
akhirnya aku punya secuil alasan untuk sekadar menyapanya.
Sabtu, 16 November 2019
Sial. Waktu sudah menunjukkan pukul 00.05.
Menyerah dengan konsentrasiku yang semakin buyar, kututup
layar laptop yang masih menampilkan slide demi slide powerpoint
berisi ide-ide training yang sudah kususun dengan susah payah.
Dengan gontai, aku melangkah, melewati lorong kantor yang
senyap. Kesunyian yang tidak keperlukan di saat-saat seperti ini.
Sebuah taksi biru yang ngetem di depan kantorku
menjadi pilihan pertamaku setibanya di lobby.
Udara malam semakin dingin. Jalanan lenggang. Tak seorang
pejalan kaki pun yang melintas. Sesekali kendaraan berlalu-lalang dengan
kecepatan tinggi, seolah ada tujuan yang harus segera dicapai.
Skenario yang terhampar di hadapanku semakin menggenapkan
kebingunganku. Tuhan seolah-olah tengah menguji perasaanku, memastikan apakah masih
ada sedikit rasa yang tertinggal antara aku dan laki-laki yang berulangtahun di
tanggal 16 November ini.
Peduli amat dengan rasa gengsi. Tujuh hari tanpanya adalah
sesuatu yang asing bagiku. Tujuh hari tanpanya bukanlah tujuh hari yang biasa
kulalui. Tujuh hari tanpanya adalah sesuatu yang masih perlu kupelajari sedikit
demi sedikit.
Setelah berulangkali menghapus pesan yang kuketik, akhirnya
berhasil juga kutekan tombol send di aplikasi Whatsapp.
“Happy birthday! Semoga di ulangtahun kali ini, kamu semakin
bahagia. Semakin bijak dengan pilihan-pilihan hidup yang kamu buat. Semakin
sukses di karir. Semakin jago main futsalnya! Hehehe. Gue bingung sebaiknya gue
ngomong ini atau engga, but I miss you a lot. Gue kangen sama lo. Udah itu aja.
Doain gue supaya cepet move on dari lo ya 😉. Semoga WA gue ini ga menghancurkan mood ulangtahun lo! Once again,
happy birthday! 😊”
Entah apa yang merasukiku sehingga aku bisa segamblang itu
membicarakan perasaanku. Sebagai manusia yang termasuk dalam kaum serba
gengsian, percayalah, aku pun tak percaya bahwa aku mampu menuliskan pesan
semacam itu.
“Bu, sudah sampai,” ucapan supir taksi sontak memutus
lamunanku.
Sesampainya di apartemenku, aku bergegas menuju shower. Aku
cuman ingin berhenti memikirkannya. Berhenti memikirkan reaksinya ketika
menerima pesanku. Berhenti membayangkan bagaimana kecewanya perasaanku jika ia
memutuskan untuk tidak membalas pesanku. Berhenti membayangkan berapa banyak
keresahan yang akan timbul di otakku sampai ia memutuskan untuk membalas
pesanku.
Sambil mengeringkan rambut, kutatap layar ponselku yang
berkedip-kedip. Pertanda bahwa ada pesan Whatsapp yang menungguku.
“Hai, thank you! Makasih masih inget utah gue ya. Makasih
untuk semua wishes-nya. Gue juga kangen kok sama lo. Banget. Setiap pagi, gue
refleks buka WA dan keinget untuk ngucapin good morning ke lo. Setiap hari, gue
bertanya apakah keputusan ini adalah keputusan yang tepat. Kadang gue juga
mikir apa lebih baik kita balik kayak dulu lagi. Tapi untuk saat ini, gue
percaya ini adalah keputusan terbaik. Semoga kita segera menemukan orang yang
tepat di waktu yang tepat!”
Aku menghirup udara sedalam-dalamnya. Berusaha mengusir
perasaan mencekik yang muncul tanpa bisa kucegah.
Sebaris senyum terukir di bibirku. Sebuah pemahaman baru
terbentuk. Perasaan lega memenuhi hatiku.
Menghabiskan waktu bersamanya adalah salah satu momen terbaik
dalam hidupku. Menertawakan lelucon recehnya yang khas boleh jadi akan selalu
kurindukan. Menceritakan segala keluh kesahku padanya adalah hal yang
menentramkanku pada masanya. Janji bertemu dengannya menjadi semangatku untuk
terus berlari dan bertahan. Ia pernah menjadi salah satu kekuatan terbesar yang
kumiliki.
Namun kehadirannya tak selalu berarti bahagia. Bahagia
bersamanya berarti perasaan nyaman yang diliputi kabut kebingungan tentang
seberapa besar rasa sayangnya untukku. Kenyamanan bersamanya berarti
ketentraman yang diliputi keresahan tentang mengapa ia tak cukup memberikan
effort untuk kami. Lelah juga rasanya berlari sejauh ini bersamanya dengan
pertanyaan yang selalu memenuhi benakku.
Kehadirannya memang bukan tanpa alasan. Eksistensinya dalam
hidupku mengajarkan beberapa hal baru yang tak pernah kupahami sebelumnya. Rasa
sayang tanpa tindakan adalah cara terbaik untuk membunuh perasaan itu sendiri.
Pertanyaan yang muncul setiap kali ia menghilang tanpa kejelasan bisa jadi
pertanda yang tak boleh diabaikan.
Selamat ulang tahun. Selamat bertambah tua.
With
love,
Bells
Tidak ada komentar:
Posting Komentar