Sabtu, 08 Februari 2020

Bandara

16.30

“Di luar masih hujan?”

Aku menganggukan kepala sebagai respon atas pertanyaan tersebut.

Melihat responku, spontan teman semejaku menggurutu pendek, mengeluhkan cuaca mendung yang menyelimuti langit Jakarta semenjak pagi.

Tak hanya mendung, hujan rintik setia mengguyur kota beton ini di Jumat pagi. Seolah ingin meredupkan suasana “Thanks God It’s Friday” yang selalu ditandai dengan macetnya mobil yang berjibaku di jalanan, pengapnya polusi udara yang mengganggu pejalan kaki, dan ramainya pusat perbelanjaan yang dipenuhi manusia yang berlomba untuk memenuhi kebutuhannya atau sekadar bersosialisasi menjelang akhir pekan.

Jam dinding di sudut ruang kantor terus berdetak. Mengabaikan keresahan penghuni kantor akan sulitnya menembus hujan sepulang kerja. Belum lagi kemacetan yang semakin menjadi akibat derai hujan.

Dengan resah, aku memasukkan laptop ke dalam tas. Bergegas kurapikan berkas yang berserakan di meja kerjaku. Tak kupedulikan lagi berbagai email yang kerap kali membuatku terpaksa membuka laptop di akhir pekan. Toh kebanyakan aku tak punya rencana khusus di akhir pekan, kecuali ia datang mengunjungiku seperti hari ini.

Lima belas menit berlalu tanpa hasil yang berarti. Tak satupun taksi online yang sudi mengantarku dari jalanan Sudirman yang macet menuju bandara.

Sial, apakah ini artinya aku harus menyetop taksi di pinggir jalan?

Aku membuka aplikasi chatting berwarna hijau. Memastikan bahwa status pesan terakhir yang kukirim belum berubah menjadi centang dua. Syukurlah, pasti ia belum mendarat di bandara Soekarno Hatta. Semoga saja aku tiba di bandara sebelum ia menjejakkan kaki keluar dari pesawat.

17.30

Tentu saja masalahku tak berhenti sampai di situ. Usai nekat menyetop taksi biru yang melintas di depan kantor, kemacetan yang entah dimana ujungnya sudah membentang di hadapanku.

Berbekal sekotak tisu, aku mulai mengeringkan bajuku yang dipenuhi butiran air hujan. Kusisir rambutku yang mulai lepek akibat berjam-jam berjibaku dengan berbagai laporan khas akhir bulan.

Kuakui, aku bukan orang yang fleksibel sama sekali. Hujan deras dan kemacetan yang menggila mampu membangkitkan keresahanku. Perubahan rencana yang mendadak bukan hal yang mampu kutangani. Aku menyukai segala sesuatu yang teratur, terencana, dan berjalan sesuai dengan apa yang sudah kuurutkan sedemikian rupa.


Tetes air hujan terus menampar kaca bening taksi biru yang kutumpangi. Lampu kendaraan berbaris-baris memenuhi jalanan.

Sial, tak ada yang bisa kulakukan di tengah kemacetan ini selain memandangi layar smartphone-ku dan melamun sambil menatap ke luar jendela.

Omong-omong soal bandara, aku selalu menyukai tempat itu dengan segala kepelikannya. Mengamati manusia-manusia berkoper yang berlari mengejar waktu adalah kesenangan tersendiri bagiku. Kesibukan di loket tiket, orang-orang yang tergesa-gesa berlalu lalang, suara mesin pesawat yang sesekali memenuhi udara, dan hiruk pikuk khasnya yang selalu membuatku terpesona.



Bagian favoritku? Tentu saja menyaksikan momen ketika manusia memiliki tujuannya masing-masing yang tercetak jelas dalam selembar tiket. Ya, tujuan kemana ia akan melangkah selanjutnya. Tujuan yang menjadi kompas penunjuk arah kemana ia harus mengarahkan layarnya. Tujuan yang selalu memberi alasan seseorang untuk terus bertahan. Tujuan yang sanggup menggerakkan seseorang untuk tetap berjalan walau beribu alasan terhampar di hadapannya.

Tujuan yang membuat manusia memiliki alasan untuk tetap hidup di antara ketidakpastian yang seringkali membuat ragu.

Begitu juga tujuanku ke bandara di malam Sabtu yang sama sekali tak bersahabat ini. Apalagi tujuannya kalau bukan menemui laki-laki yang raganya berjarak ratusan kilometer dariku, tapi hadirnya selalu meredamkan semua kebingunganku di masa quarter life crisis ini. Sosok yang mampu membuatku berhenti menoleh ke belakang dan tegak mengarah ke depan.

Hhh, aku menghembuskan napas pelan, yang segera membingkai menjadi embun.

Mungkin pertemuan mendadak ini juga tentang sebuah tujuan. Tujuanku di umurku yang resmi menginjak masa quarter life crisis pada November kemarin. Tujuannya yang selalu gamang berada di antara ambisi pribadinya dan kebersamaan kami yang tak terbilang mudah. Tujuan kami dalam hubungan yang seringkali oleng karena ketidakdewasaanku dan pemikirannya yang berada jauh dari jangkauanku.

19.25

“Terima kasih, Pak. Lebihnya ambil saja ya”

Kalimat itu seolah menjadi penutup kebersamaanku dengan supir taksi yang bergegas melaju cepat sekaligus menjadi awal kisahku di bandara pada sore yang mendung ini.

Pandanganku bergegas mencari sosok yang kerap kali menjadi tujuanku ketika menginjakkan kaki di bandara. Ramainya penumpang yang berlalu lalang membuatku kesulitan untuk segera menemukannya dalam keramaian. Belum lagi berbagai pengumuman yang berkumandang melalui loud speaker membuatku semakin gugup.

Tepukan pelan seseorang di pundakku refleks membuatku menoleh ke belakang.

Ia berdiri di sana. Ia yang selalu berhasil menemukanku terlebih dahulu, tak peduli seberapa sulitnya situasi.

Mengenakan kemeja coklat muda dan celana hitam, ia bergegas menggandeng lenganku. Seulas senyum tulus terukir di bibirku. Ia ada di sini, berdiri di sampingku.


“Mau pesan taksi sekarang?” aku mulai sibuk membuka aplikasi di ponselku.

“Kalau kita ngobrol dulu di kafe itu gimana?” Ia menunjuk sebuah kafe berinterior cantik di sudut bandara.

Aku memandangi wajahnya, mencoba mencari tahu apa yang disembunyikan sosok yang telah mengisi hari demi hariku selama empat tahun terakhir.

Pertemuan yang mendadak, senyumnya yang terasa asing, dan ajakannya untuk duduk sejenak di bandara memaksa otakku untuk berpikir keras.

Jantungku spontan berdegup cepat ketika menyadari tangannya bebas menggandeng lenganku karena tak ada koper yang biasanya membebani langkahnya. Ada apa sebenarnya dengannya? Atau mungkin pertanyaan yang lebih tepat ialah, ada apa sebenarnya dengan kami?

19.35


Hiruk pikuk suasana kafe sungguh berbanding terbalik dengan kebisuan yang membentang di antara kami.

Usai memesankan segelas americano untuknya dan caramel macchiato untukku, ia berdeham pelan. Lalu menggaruk kepalanya, gerakan khasnya yang mengindikasikan bahwa ada sesuatu yang penting yang ingin dibicarakannya.

“Tadi macet?”

Aku tersenyum  kecil. Pertanyaan basa-basinya yang membuatku semakin gugup.

“Ada apa?” Sial, akhirnya dua kata itu meluncur juga dari bibirku. Dua kata yang sejak tadi sudah tertahan di ujung lidah. Dua kata yang membentuk sebuah pertanyaan sederhana, namun sanggup memancing cerita pelik yang mungkin sudah lama menanti untuk diceritakan.


Pelayan yang mengantar gelas-gelas kopi memecah kebisuannya, seolah memberinya sedikit jeda untuk berpikir sebelum menjawab pertanyaanku.

Aku menyeruput kopiku pelan. Caramel macchiato kesukaanku tiba-tiba terasa hambar di indera pengecapanku.

Kesunyian yang tercipta di antara kami seolah menjawab semua pertanyaan yang menghantui benakku beberapa bulan terakhir ini.

Pertanyaanku tentang jawabannya yang terasa singkat di Whatsapp. Tentang teleponnya yang tak lagi seintens dulu. Tentang nada suaranya yang tak lagi sesumringah dulu tatkala aku bercerita. Tentang cerita sehari-harinya yang tak pernah lagi dibaginya denganku. Dan juga tentang betapa hambar respon yang diberikannya ketika kata rindu itu terucap dari bibirku, sesuatu yang ia tahu selalu sulit kuucapkan karena gengsiku (yang disebutnya) setinggi langit.

Rasanya ia tak perlu membuka bibirnya lagi untuk menjelaskan apa yang berubah di antara kami. Hal-hal yang berubah tanpa kusadari, atau mungkin aku sebenarnya menyadarinya, tapi terlalu takut untuk menanyakannya.

“Aku rasa ...” Ia memberi jeda yang cukup untuk membuatku sadar bahwa ia sedang berupaya mencari kata yang tepat untuk mendeskripsikan hubungan kami.

“sepertinya hubungan kita ga bisa dilanjutkan lagi.” Ia menyelesaikan kalimat yang telah dimulainya, sekaligus menyelesaikan segala alasan yang membuat kami bertahan dalam hubungan jarak jauh ini.
Aku memandang wajahnya yang tengah menatap lurus ke arahku. Wajahnya yang menunggu jawaban dariku.

“Oke.” Hanya sepatah kata itu yang sanggup terucap dari bibirku.

Ia masih menatap lurus ke sudut mataku, mencoba menerka apa yang tengah berkecamuk di pikiranku. Mencoba memahami mengapa aku tak bertanya sedikitpun mengenai alasan berakhirnya hubungan kami.

“Kenapa?” Gantian ia yang hanya mengucapkan sepatah kata.

Sesungguhnya aku tak perlu bertanya mengenai makna tanya “kenapa” yang disodorkannya kepadaku. Egonya jelas terluka dengan respon singkatku yang tak sedikitpun mempertanyakan alasan di balik keputusan yang diambilnya tanpa melibatkanku di dalamnya. Sorot matanya nampak kecewa, mungkin ia pikir aku akan menghujaninya dengan berbagai tanya.

“Ga apa-apa,” ujarku sembari menahan air mata yang mulai menumpuk di sudut mataku.


Ia masih memandangku dengan sorot mata terluka. Jawabanku tadi seolah membuat hubungan kami selama ini tak ada harganya sama sekali. Tatapannya menghujam ke arahku, menyuarakan protes akan respon yang mungkin tak diduganya sama sekali.

Aku menarik napas panjang, berusaha mengumpulkan sisa-sisa tenaga yang masih tersisa usai berjibaku dengan pekerjaan kantor dan jalanan macet yang meresahkanku sepanjang Jumat sore yang kelabu ini.

“Kenapa?” Ia masih menuntut jawabanku.

Karena kita ga pernah bisa menahan seseorang yang ingin melangkah keluar dari hidup kita. Bukan cuman karena setiap orang berhak menentukan kemana ia ingin berjalan, tapi menahan seseorang untuk pergi adalah suatu kesia-siaan yang tak ingin kulakukan. Percuma, mungkin aku bisa menahan kepergianmu saat ini dengan air mata yang sedang mati-matian kutahan. Karena toh aku tahu betul kamu paling tidak bisa melihatku menangis. Namun, sekembalinya kamu ke kotamu, yang tersisa hanyalah aku dan perasaan resah yang mungkin akan selalu menghantuiku karena takut kehilanganmu sekali lagi. Perasaan tak nyaman yang akan selalu timbul ketika menyadari perubahan sikapmu yang perlahan tapi pasti. Rasa takut bersaing dengan alasan kepergianmu hari ini, alasan yang sudah lama memasuki kehidupanmu tanpa bisa kucegah karena ragaku yang berjarak ratusan kilometer darimu.

Andai bibirku mampu mendialogkan kalimat yang sudah tersusun rapi dalam benakku, tentu ia akan berhenti memandangiku dengan perasaan terluka.

Sayangnya, aku hanya mampu memandanginya. Berusaha menyimpan segala kenangan tentangnya. Tentang sosoknya yang telah lama menjadi kekuatanku untuk bertumpu. Tentang sosoknya yang menjadi tujuanku untuk berlabuh di akhir hari yang panjang dan melelahkan.


Lima belas menit berlalu begitu saja. Tak satupun dari kami sanggup memecah keheningan. Hanya bising bandara yang mengisi jarak di antara kami. Hingga panggilan bagi penumpang tujuan Surabaya memenuhi udara.

Ia memandangku sekali lagi, memastikan bahwa sosok perempuan di hadapannya tak punya sedikitpun niat untuk menghalangi kepergiaannya.

“Kamu sering bilang ke aku, kamu ga akan pernah mencoba menahan kepergian siapapun dalam hidupmu. Aku sempet mikir kalo aku ga termasuk dalam kategori ‘siapapun’. Tapi ternyata aku salah. Terima kasih sudah menjadi alasanku untuk bertahan selama ini. Terima kasih telah menjadi tujuanku selama beberapa tahun ini.”

Ia bangkit berdiri, mengecup keningku pelan. Lalu berjalan kembali ke dalam bandara usai membayar dua cangkir kopi yang masih termangu di atas meja. Meninggalkanku dan buliran air mata yang perlahan membasahi pipiku.

Sial, bahkan di saat menyedihkan semacam ini, air mataku masih terlalu gengsi untuk muncul di hadapannya.

22.15


Aku menghabiskan beberapa jam di bangku kafe sebelum akhirnya memutuskan untuk berjalan pulang.

Sekali lagi, aku mengedarkan pandanganku, menjelajah sudut bandara. Tempat bersejarah yang menyimpan semua rinduku untuknya. Tempat hiruk pikuk dimana sunyi seringkali menyeruak tatkala aku memandangi kepergiannya usai menemuiku selama 2 x 24 jam. Tempat dimana manusia selalu memiliki tujuan yang tercetak dalam bentuk selembar tiket, sama seperti sosoknya yang pernah menjadi tujuanku dalam suatu masa kehidupan.










Note :
Hai, pembaca budiman yang baik hati, tidak sombong, dan rajin menabung. Hehehehe. Hayo, siapa yang suka ninggalin komen berupa “ini pengalaman pribadimu ya, Bellsss?”. Hmm, gengs, percayalah, aku ga pernah punya kisah sedramatis ini. Hiks. Ini hanyalah karangan belaka yang dibumbui oleh imajinasi yang muncul pas aku lagi bengong-bengong-santuy di atas gojek selama 45 menit atau berimajinasi di gerbong kereta selama 30 menit setiap menempuh perjalanan Bintaro-Sunter ataupun sebaliknya.

Anyway, thank you for reading this blog. It really really means a lot to me.  😊





With love,
Bells


2 komentar: