Jumat, 18 Januari 2019

Satu Purnama yang Lalu


Sumber : pexels

Membunuh waktu di perjalanan dengan menatap layar smartphone bukan hal yang asing bagiku. Walaupun sudah bertekad untuk membaca buku yang rutin kubeli di Gramedia tapi tak rutin kubaca :”), toh ujung-ujungnya jemariku refleks membuka aplikasi media sosial berlogo kamera.

Rupanya malam ini adalah malam keberuntunganku. Insta story yang muncul di home profile-ku tak sekadar menampilkan gambar makanan di berbagai restoran yang seringkali membuatku lapar padahal perutku sudah diisi berulangkali atau kemacetan ibu kota yang membuat hidup terasa lebih menantang.

Sumber : memedad

Hashtag #10yearschallenge menjadi konten utama yang diunggah nyaris semua orang yang ku-follow. Pengguna Instagram seolah berlomba menampilkan foto dirinya yang sekarang sambil disandingkan dengan gambaran dirinya 10 tahun yang lalu.

Buatku, menyaksikan konten semacam ini menjadi teman perjalanan yang menyenangkan. Sementara mobil yang kutumpangi melaju di jalan tol yang tak bebas hambatan, mataku terhibur dengan foto teman-temanku yang diambil 10 tahun silam.

Ikutan upload ahh. Hehehe
Percayalah, aku juga ga ngerti apa faedahnya foto pake buku kimia setelah belajar kelompok. 

Rasanya semacam nostalgia. Melihat rekan kerjaku dengan seragam SMA tentu hal yang tak akan terjadi seandainya tak ada challenge semacam ini. Menyaksikan bagaimana Youtuber favoritku berwajah lugu serta mengenakan kaos dan jeans yang kusam menjadi hal yang langka.

Belum lagi mengingat kembali berbagai tren yang pernah populer pada masanya. Poni lempar yang menjadi pilihan gaya rambut banyak perempuan 10 tahun silam tak lagi dianggap menarik sekarang. Wajah teman-teman perempuanku yang tadinya polos tanpa riasan make up digantikan dengan bentuk alis yang lebih sempurna, bibir yang dipulas dengan lipstick, dan pipi bersemburat merah cerah berkat sapuan blush on. Bahkan hal sederhana macam gaya berfoto pun berubah dari waktu ke waktu (walaupun gaya fotoku ga pernah berubah sih. Hehehehe).

Satu purnama yang lalu

Malamnya, sebelum terlelap, aku jadi sedikit merenung tentang hidup yang terus berjalan dan bagaimana setiap orang berubah. Entah disadari maupun tidak. Entah disengaja maupun tidak. Entah ke arah yang lebih baik maupun jalan di tempat.

Berkaca pada diriku sendiri, sulit rasanya mengukur seberapa jauh diriku yang sekarang melangkah dari bayanganku pada 10 tahun yang lalu.

Masih dalam edisi satu purnama yang lalu

Poni tetap menghiasi wajahku yang sekarang maupun 10 tahun silam. Kemampuanku berdandan tetap sebatas mengulaskan BB cream, menaburkan bedak, dan menambahkan lipstick. Hobiku tetap membaca buku dan menulis blog. Mengajar anak kecil masih menjadi kegiatan yang rela kulakukan tanpa dibayar sama sekali. Menyaksikan pertandingan bola dan memperdebatkan siapa pemenangnya dengan adik laki-lakiku masih kulakukan hingga sekarang. Menangkis kok dan berkeringat di lapangan bulutangkis masih menjadi olahraga andalanku. Menertawakan candaan yang receh (maklum, standar lucuku belum juga meningkat. Hehehehe) tetap mengisi hari-hariku. Dan yang paling terlihat, gaya berfoto dengan mengangkat dua jari membentu tanda peace masih menjadi pose favoritku sepanjang segala abad.

Cuman tak mungkin rasanya jika sepuluh tahun tidak membawa perubahan sama sekali bukan? J

Ada perubahan status yang drastis dari mahasiswa yang bisa pergi ke Plaza Semanggi kapan saja menjadi pekerja kantoran yang menetap di depan layar laptop minimal delapan jam sehari. Bertemu dengan teman dekat yang tadinya semudah melangkah ke kampus kini diwarnai dengan drama janjian berbulan-bulan sebelumnya yang seringkali berakhir dengan status batal karena prioritas lain yang menuntut.

Belum lagi orang yang dulu punya tempat spesial dalam hidup (bahkan menentukan kemana kaki melangkah) berubah menjadi orang asing yang sekadar mengucapkan salam basa-basi ketika berpapasan. #aseeek #mulaicurhat #abaikan

I wish I still have more free time to teach you, kids. LLL


Sepuluh tahun bukan waktu yang singkat. Ada banyak cerita yang bisa ditulis di setiap lembarnya. Ada suka duka yang membentuk sikap dan preferensi setiap orang. Ada keputusan atas setiap pilihan yang toh akhirnya mengukir jalan hidup yang dijalani.

Kurasa, challenge #10yearsago ini tak cuman sekadar tren sesaat yang muncul lalu silih berganti.

Namun, cukup membuatku berpikir, merenung, dan tergerak untuk “menghidupi” hidup. Cukup membuatku berhenti sejenak, menoleh ke belakang, dan mulai memprioritaskan hal-hal penting yang seringkali terabaikan atas nama tuntutan rutinitas. Cukup memaksaku berimajinasi tentang gambaran diri dan pencapaikan apa saja yang ingin kuukir 10 tahun ke depan. Cukup menodongku untuk mulai mengekspresikan perasaan sayang kepada orang yang selalu berdiri di sampingku seberapa kacaupun situasi yang terjadi (ahh, jadi kebayang si papa yang selalu nganterin aku setiap pagi. Mana kadang aku suka ketiduran di jalan sementara dia capek-capek nyetirin aku #brbmewek).

Di tengah rutinitas yang berebut menuntut perhatianku, #10yearschallenge ini seolah menjadi momen sakral yang mengingatkanku tentang pentingnya “hidup yang benar-benar dihidupi”. J



With love,
Bells


3 komentar: