Minggu, 20 Oktober 2013

It Hurts But …

Notes : Heii, people! Long time no see! Duh, maafkan sikapku yang tidak konsisten dalam menghasilkan tulisan. *sujud mohon maaf*. Btw, tulisan ini terinspirasi dari novel Refrain dan Remember When karya Winna Efendi. The novel is definitely perfect ! Maka, jadilah tulisan ini sebagai bentuk kekagumanku kepada untaian kata ala Winna Efendi *walaupun kadar kesempurnaan tulisan ini masih jauh dari karya Winna Efendi*.. Pssst, tulisan ini dibuat BUKAN berdasarkan pengalaman pribadi penulis yah. *mengkonfirmasi sebelum ada yang bertanya. hehehe*



“You know you're in love when you can't fall asleep because reality is finally better than your dreams.” –Dr. Seuss
Siapa sih yang ga pernah falling in love with someone? Semua orang pasti pernah jatuh cinta. Entah itu dengan seseorang yang baru saja dikenal, teman yang tidak pernah kita duga sebelumnya, kakak kelas yang kita kagumi semenjak dulu, atau *ups!* sahabat yang selalu ada buat kita. Memang sih, jatuh cinta adalah perasaan yang sangat istimewa karena terjadi melalui mekanisme yang sulit dijelaskan secara logika. Namun, jangan salah, jatuh cinta juga bisa membuat perasaan kita terjun bebas layaknya roller coaster. Apalagi kalau kita jatuh cinta pada seseorang yang sudah menganggap kita sebagai sahabat atau (lebih parahnya lagi) kakak-adik-tak-sedarah. *ouch*

Tak heran, perasaan serba salah menghantui hari-hari kita. Perasaan kita pun terbang layaknya balon udara tak bertuan *hehehe. Agak lebay yah bahasanya*. Saat mentari masih malu-malu menampakkan sinarnya, senyum kita sanggup mengalahkan cerahnya mentari. Apalagi kalau bukan hanya karena ucapan “good morning” (plus emoticon smile) super standar yang diucapkan oleh sahabat yang kita taksir. Sementara  guru masih sibuk mengoceh tentang rumus trigonometri, otak kita sudah sibuk menyusun rencana akhir pekan bersama dia. Saat bel istirahat berbunyi, langkah kita langsung bergegas. Kemana lagi kalau bukan ke tempat favorit kita dan dia.

Jangankan orang lain, kadang aja kita merasa heran. Kok bisa sih kita naksir dengan sahabat kita sendiri? Padahal, kita hafal betul semua sifat “malaikat” dan “iblis”nya. Namun, kalau dipikir-pikir, ga aneh juga sih kalau kita jatuh cinta sama sahabat yang satu ini. Bagaimana ga jatuh cinta kalau sahabat adalah orang yang rajin “absen” melalui ucapan good morning dan good night? Apalagi, karena sudah mengenal satu sama lain, kita bisa bebas menceritakan apa pun padanya, mulai dari hal yang super ga penting hingga hal-hal yang menguras pikiran kita. Belum lagi, sms darinya yang sanggup membuat kita tersipu-sipu malu. Pokoknya, dia selalu menciptakan hujan perhatian yang sukses menumbuhkan bibit-bibit cinta di hati kita *hehehe. Kalimatnya cieee bgt*.

Pertanyaannya sekarang, apakah sahabat juga merasakan perasaan yang sama dengan kita?

Awalnya sih kita benar-benar clueless untuk menjawab pertanyaan tersebut. Ada kalanya, sikap protektif sahabat yang selalu ingin melindungi kita membuat kita berpikir bahwa ia pun memiliki perasaan yang sama. Namun, tak jarang, ejek-ejekan seperti “mana mungkin sih gue naksir sama lo?!” atau pertanyaan seperti “kita akan selalu jadi sahabat untuk selamanya kan?” membuat jawabannya menjadi ambigu. Situasi seperti ini tentu membuat perasaan kita jadi ikut tak menentu. Senang sih rasanya kalau dia selalu meluangkan waktunya untuk kita, tapi kita tentu bertanya-tanya. Apakah ia selalu meluangkan waktunya karena punya perasaan lebih atau memang karena dia menghargai kita sebagai sahabat? *ups*

Kalau sudah begini, tak ada cara lain selain membiarkan waktu yang menjawabnya. *tsaah*

Anehnya, akhir-akhir ini, sahabat sering menghilang bagaikan ditelan bumi. Sosoknya lenyap dari peredaran tanpa alasan yang jelas. Tanda tanya pun memenuhi sel-sel otak kita. Kemunculan sahabat setelah sekian lama menghilang tak lantas mengentaskan pertanyaan yang memenuhi benak kita. Alasan seperti padatnya kegiatan di luar sekolah, banyaknya tugas yang harus dikerjakan, ulangan yang menumpuk, hingga kesibukannya berlatih basket tak memuaskan keingintahuan kita. Sebenarnya, tak ada yang salah dengan alasan tersebut, tapi … Alasan itu tak pernah menjadi “alasan” sebelumnya. Maksudnya, kalaupun dulu ia punya banyak janji hang out dengan teman segengnya, ia selalu punya waktu untuk mengabari kita. Kalaupun dulu ia sibuk mengerjakan soal-soal stoikiometri, ia masih bisa mengirimkan pesan singkat, sekadar untuk mengatakan “aku belajar dulu yah.”

Perasaan kita pun menjadi bercampur aduk. Sedih karena perubahan terjadi ke arah yang tidak kita inginkan. Kecewa karna waktunya berubah menjadi komoditas yang mahal dan langka. Marah karena tidak tahu harus berbuat apa. Sebagai sahabat, seolah ada peraturan tertulis bahwa ia tak punya kewajiban untuk selalu mengabari kita *benar juga sih! Hehehe*. Yaps, kita adalah orang yang selalu ada untuknya, orang yang selalu siap mendengarkan ceritanya, orang yang mau memahami kesulitannya, tetapi tidak punya “hak” untuk mengerti isi hatinya. *jleb banget yah. Hehehe*


Sampai suatu hari, sahabat meminta pendapat kita mengenai … *jreng jreng jreng* *suasana misterius* ORANG YANG DITAKSIRNYA. *dibaca sekali lagi, ORANG YANG DITAKSIRNYA* Duh, rasanya kita ingin (gantian) menghilang ditelan bumi. Apalagi saat sahabat meminta kita untuk menemaninya mencari kado spesial untuk orang yang mengisi relung hatinya. Ingin rasanya kita marah *tapi marah sama siapa?!* dan mengacuhkan pertanyaan sahabat, tapi … Kalau kita bersikap begitu, sahabat pasti akan heran dan bertanya-tanya tentang sikap kita yang berubah 180 derajat.

Akibatnya, kita pun terpaksa mendengarkan cerita sahabat mengenai cewek yang sedang ditaksirnya. Perasaan kesal pun berlipat ganda karena sahabat menceritakan semua perasaannya secara blak-blakan tanpa sensor. Semua detail dari mulai pandangan pertamanya hingga akhirnya ia ingin menyatakan perasaan pada cewek itu diceritakan non stop. Keki sih, tapi kita sendiri tak tahu apa yang bisa (dan harus) dilakukan.

Penyesalan pun memenuhi benak kita. Kenapa sih kita harus berkenalan dengannya dan ditempatkan pada posisi sahabat? Masalahnya, kalau kita ga pernah menjadi sahabat dia, mungkin kita juga ga akan pernah jatuh cinta sama dia. Kenapa sih hubungan kita dan dia stuck pada tingkat sahabat? Kenapa sih kita (seolah) tidak bisa mengungkapkan perasaan karena takut ia menjauh dari kehidupan kita? Pokoknya, ada banyak sekali pertanyaan “kenapa” yang rasanya tidak cukup dituliskan dalam selembar kertas folio *hehehe*.

So, the question is what’s next? Kita punya seribu alasan atas kekecewaan yang melingkupi hati kita, tapi kita juga seharusnya bersyukur. Mengapa? Karena kita diberi kesempatan untuk mendapatkan jawaban yang selama ini kita cari. Mungkin jawabannya bukan jawaban yang kita inginkan, tetapi jawaban itu mendorong kita untuk membuka mata. Kita tak perlu lagi menghabiskan waktu untuk menunggunya membalas sms kita. Tak ada lagi momen yang terbuang untuk sekadar menunggu ucapan good morning yang super standar darinya. Enaknya lagi, perasaan kita tak akan meluncur bebas layaknya roller coaster hanya karena sikapnya yang “hot and cold” seperti lirik lagu Katy Perry.

Bohong jika kita mengatakan bahwa kita baik-baik saja saat mendengar berita “bahagia” untuk sahabat kita. It hurts, but … Seperti yang sudah diungkapkan di atas, kita punya kesempatan untuk menyelamatkan waktu kita dari perasaan galau, ambigu, dan tak menentu. Tak ada lagi detik yang terbuang sia-sia untuk memikirkan orang yang bisa lenyap ditelan bumi tanpa kabar yang jelas. Tak ada lagi menit yang terpakai sia-sia untuk menduga-duga apa yang sedang mengisi pikiran orang itu. Tak ada lagi jam yang berlalu sia-sia untuk menunggu kabar darinya. Tak ada lagi hari-hari yang dilewati dengan penuh kebingungan mengenai perasaan kita.

So, what are we waiting for? Let’s get up and open your eyes widely ! :D


With love,

Bella




Tidak ada komentar:

Posting Komentar