Sabtu, 07 September 2013

(Benarkah) Tidak Ada Pilihan yang Salah


Tanpa kita sadari, setiap detik kehidupan dimulai dengan pilihan yang diikuti proses seleksi dan menjatuhkan pilihan. Ada kalanya pilihan itu terasa mudah dan tak banyak menuntut pertimbangan. Namun, tak sedikit pilihan yang sanggup membuat kening kita berkerut dan bertanya-tanya “benarkah pilihan yang saya ambil?”

Walaupun sudah mendengar banyak sekali petuah, memilih kuliah beserta jurusannya tak pernah menjadi hal yang mudah (terutama bagiku. ;D). Pertanyaan yang memenuhi benak tak sekadar “mau kuliah dimana?” atau “mau mengambil jurusan apa?”. Lebih dari itu, prospek kerja di masa depan dan relevansi jurusan yang diambil dengan profesi impian turut menjadi pertanyaan yang tak mudah untuk dijawab.

Masa SMA, yang digadang-gadang sebagai  momen pencarian jati diri, menyadarkanku akan beberapa hal. Setelah sekian lama mendeklarasikan matematika sebagai pelajaran favorit (semenjak SD sampai SMP), aku berbalik arah untuk menjauhinya. Rumus trigonometri dan soal peluang tak lagi menarik minatku. Anehnya, berita politik di media massa sanggup membuatku bangun lebih pagi untuk sekadar melahap tulisan di koran. Tak hanya membaca, menulis turut menjadi aktivitas yang tak pernah lepas dariku. Padahal selama ini, tak pernah terpikir dalam benakku untuk belajar menulis dari novel karya Winna Effendi yang sering menemani hari-hariku.

Hal-hal “ajaib” yang selama ini terpendam dan akhirnya kutemukan tentu saja membawa perubahan terhadap orientasi masa depanku. Dulu, saat temanku bertanya mengenai jurusan kuliah yang menarik hatiku, dengan tegas aku akan menjawab “FMIPA”. (hehehe. Kok bisa yah dulu berpikir untuk ambil jurusan ini?! :P). Sekarang, tak sedikit pun kakiku melangkah menuju ke sana. Ada pun jurusan yang ingin kutekuni adalah Ilmu Komunikasi, Kriminologi, dan Hukum.  Hal-hal “ajaib” itu rupanya sukses mengubah caraku menapaki masa depan.

Pertanyaan selanjutnya terasa lebih berat untukku, yaitu “mau kuliah dimana?” Sejak awal, aku bertekad untuk memasuki gerbang kuliah tanpa perlu mengikuti tes formal. Aku pun mencari informasi mengenai universitas yang membuka jalur undangan tanpa tes dan ke sanalah kakiku melangkah. Mengirimkan rapor, menunggu pengumuman, dan akhirnya diterima merupakan proses yang berakhir menyenangkan untukku. Kupikir, sudah tak ada lagi waktu yang tersita untuk melamun dan bertanya-tanya mengenai masa depan.

Tiba-tiba saja, papa memintaku untuk mengikuti tes masuk Perguruan Tinggi Negeri. Tak pernah terbayang dalam anganku untuk ikut bergabung bersama ratusan pelajar lainnya guna memperebutkan kursi yang terbatas. Rencana liburan panjang seusai Ujian Nasional yang sudah kurencanakan matang-matang berubah drastis. Tak ada waktu seharian penuh untuk berbagi kisah dengan novel Gagas Media kesukaanku.  Kurva supply dan demand, lapisan batuan, dan jenis agen sosialisasi mengisi waktu pagiku. Materi baru dalam jumlah banyak dan harus diselesaikan dalam waktu singkat meningkatkan pesimismeku. Ada banyak sekali pelajar yang sudah mengincar PTN dan mempersiapkan diri jauh-jauh hari. Sementara aku hanyalah anak IPA yang belum pernah berkenalan sedikit pun dengan kurva ekonomi.

Pada hari pengumuman, jantungku berdetak lebih cepat walaupun otakku sudah berulangkali memperingatkanku untuk bersikap realistis. Aku pun melonjak kegirangan tatkala aku dinyatakan lolos ke sebuah perguruan tinggi negeri di Bandung dengan jurusan pilihan Ilmu Komunikasi. Kupikir, masa depan kuliahku sudah terpeta dengan jelas. Pergi ke Bandung dan memulai kehidupan sebagai mahasiswa.

Faktanya, menentukan pilihan yang menyangkut masa depan memang tak pernah mudah. Aku lupa memikirkan sebagian lain dari hidupku (selain kehidupan perkuliahan). Jika aku pergi ke Bandung, ada beberapa hal yang (mau tak mau) harus kulepaskan. Tak ada hari Jumat yang terasa menyenangkan karena ada les piano. Kesempatanku untuk mengajar di sebuah sekolah gratis pun mungkin akan lenyap. Belum lagi kegembiraan saat mengajar sekolah minggu yang tak akan kujumpai lagi. Sementara di satu sisi, (menurut banyak orang) prospek kerja mahasiswa lulusan PTN lebih luas dibandingkan mahasiswa non PTN.



Di tengah kebingungan, ada satu kalimat sederhana yang dilontarkan salah seorang temanku tatkala aku menceritakan permasalahanku. “Tak ada pilihan yang salah, yang penting, jangan menjadikan pilihan itu menjadi salah”. Ia tidak memberikan opini yang bersifat menghakimi, seperti pendapat bahwa lulusan PTN memiliki prospek kerja yang lebih luas dibandingkan mahasiswa non PTN. Ia hanya memintaku untuk membuat daftar peluang yang kudapatkan dan kesempatan yang kulepaskan sebagai konsekuensi dari masing-masing pilihan.

Tentu saja masalahku tidak langsung terpecahkan seusai pertemuan singkat itu. Eksekusi pilihan tetap berada di genggamanku. Begitu juga tanggungjawab yang harus dijalankan sebagai konsekuensi dari keputusanku. Namun, setidaknya, aku menjadi lebih percaya diri dengan pertimbangan yang sudah kupikirkan masak-masak.

Selama ini, banyak orang mengatakan bahwa tak ada pilihan yang salah dalam roda kehidupan. Jujur saja, aku tak begitu mempercayainya. Logikaku mengatakan, jika tak ada pilihan yang salah, mengapa tak sedikit orang yang tidak bisa berada dalam puncak kesuksesannya? Jika tak ada pilihan yang salah, mengapa banyak mahasiswa yang menyesali jurusan yang dipilihnya semenjak awal? Jika tak ada pilihan yang salah, mengapa banyak orang yang ingin memutar waktu dan mengganti pilihannya di masa lampau? Jika tak ada pilihan yang salah, mengapa kita bertemu dengan seseorang, jatuh cinta, dan akhirnya memutuskan untuk berpisah? *curcol. Hehehe.*

Rupanya, ada sepenggal kalimat yang terputus dari petuah tersebut. Memang tak ada pilihan yang salah karena yang penting, kita tidak menjadikan pilihan itu menjadi salah. Aku belum memahami makna pernyataan ini sepenuhnya, tapi kira-kira begini caraku menafsirkannya dalam persoalan yang sedang kuhadapi.

Bukan merupakan sebuah kesalahan jika aku memutuskan untuk tetap tinggal di Jakarta dan melangkah menuju kampus yang semenjak awal kutuju. Namun, pergi ke Bandung dan belajar hidup mandiri tanpa orangtua juga bukan merupakan pilihan yang salah. Loh, kok begitu? Jadi mana yang harus dipilih?

Jika aku memilih untuk pergi ke Bandung, aku harus belajar mandiri seutuhnya, belajar dengan kesungguhan, dan memanfaatkan peluang yang ada di kampus dengan cara terlibat aktif dalam kegiatan kemahasiswaan. Jika aku memilih tinggal di Jakarta, aku harus belajar dengan tekun di kampus sambil memaksimalkan waktu dan peluang yang ada di sini. Karena di sekitar tempat tinggalku terdapat berbagai kursus bahasa, aku tak boleh menyia-nyiakan kesempatan untuk mempelajarinya. Karena aku sudah dipercaya menjadi pengajar di sekolah minggu, aku tak boleh malas menyiapkan materi dan terus berlatih mengorganisir setiap kegiatan. Karena aku punya fasilitas internet, laptop, dan waktu luang di hari Sabtu, aku wajib menulis blog agar kemampuanku terasah.

Intinya, sebanyak apa pun peluang dari sebuah pilihan, peluang itu akan menjadi sia-sia jika kita tidak cekatan dalam memanfaatkannya. Tidak ada pilihan yang salah, yang penting, jangan menjadikan pilihan itu menjadi salah. Bersungguh-sungguh dalam mengambil keputusan dan memperjuangkan apa yang sudah kita yakini sebagai pilihan merupakan langkah nyata dalam rangka menjadikan pilihan itu menjadi pilihan terbaik. Tak ada pilihan yang paling benar atau pun pilihan yang sangat buruk. Tepat atau tidaknya keputusan yang kita ambil, sangat bergantung pada peran kita untuk menjadikan pilihan itu menjadi tepat adanya.

Have a nice day, people ! :D

N.B. : thanks, Kak Gideon for the advice. Btw, kalimat itu jadi motto hidupku loh! ;D

Picture taken from shutterstock.com


Tidak ada komentar:

Posting Komentar