Apa sih yang terpikirkan di benak
kita tatkala mendengar kata media sosial? Sebagian besar dari kita mungkin
mulai mebayangkan ikon dari twitter, facebook, path, instagram, dan masih banyak
lagi. Namun, jika ditanya mengenai kasus terkini yang berkaitan dengan media
sosial, ingatan kita pun melayang pada sosok Florence Sihombing. Namanya yang
tak pernah terdengar sebelumnya, kini diperbincangkan oleh khalayak luas.
Sosoknya yang tak pernah menarik perhatian, kini ramai disorot media massa.
Identitasnya yang tak pernah mencuat, kini diserbu oleh keingintahuan
masyarakat mengenai dirinya.
Florence Sihombing tentu tak
pernah bermimpi (bahkan membayangkan pun tidak) bahwa sosoknya akan menjadi
trending topic di media sosial berlambang burung berkicau. Tepatnya pada Kamis,
28 Agustus 2014, hashtag #usirflorencedarijogja menempati urutan teratas
trending topic dunia. Peristiwa ini tentu menjadi saksi bisu bahwa kasus
mahasiswa S2 fakultas hukum UGM ini tak hanya menjadi magnet bagi masyarakat
Yogyakarta, melainkan bagi seluruh masyarakat Indonesia.
Kasus ini bermula saat mahasiswi
UGM tersebut tengah mengantri BBM di salah satu SPBU di Yogyakarta. Melihat
panjangnya antrean motor,Florence mengarahkan motornya ke antrean mobil untuk
membeli Pertamax. Sayangnya, Florence tak dilayani oleh petugas SPBU. Tak hanya
itu, ia juga mendapatkan teguran dari aparat keamanan yang sedang berjaga di
SPBU. Untuk meluapkan kekesalan yang menumpuk, Florence pun melontarkan
sejumlah makian terhadap kota Yogyakarta melalui akun pathnya.
Efek bola salju ternyata berlaku
pula untuk makian yang dilontarkannya. Entah bagaimana, makian tersebut
menyebar dari satu akun ke akun lainnya. Padahal, media sosial path memiliki
tingkat privasi yang lebih baik dibandingkan media sosial lainnya. Akibat efek
bola salju tersebut, Florence pun harus menjalani proses hukum dan menghadapi
sidang komite etik fakultas hukum UGM. Tragisnya, ia juga sempat ditahan dan
diancam hukuman 6 tahun penjara.
Apa pendapatmu?
Peristiwa ini tentu saja memancing
beragam reaksi dari berbagai lapisan masyarakat. Ada yang mendukung hukuman
penjara bagi Florence. Namun ada juga yang mengutuk keputusan tersebut. Kubu
yang mendukung hukuman penjara bagi Florence umumnya menyatakan bahwa ucapan
Florence di media sosial adalah hinaan pahit bagi kota yang dikenal sebagai
tempat berkumpulnya pelajar dari seluruh Indonesia. Lebih jauh lagi, ucapan
Florence dianggap mampu memecah rasa persaudaraan dan menimbulkan kecemasan di
kalangan masyarakat Yogyakarta.
Semua orang tentu berhak
menyatakan opininya mengenai sebuah kasus. Lebih jauh lagi, semua orang juga
berhak (dan bertanggungjawab) untuk menggunakan akal sehatnya dalam menilai
suatu permasalahan sosial.
Tentu tak ada yang bisa mengelak
bahwa Florence terbukti secara sah melontarkan ucapan bernada hinaan kepada
Kota Yogyakarta. Namun, hinaan yang dilontarkan oleh masyarakat terhadap sebuah
kota tentu bukanlah hal baru. Coba saja tengok timeline twitter di hari Senin.
Pasti kita akan menemui tweet yang mengeluhkan segudang permasalahan di
Jakarta. Mulai dari kemacetan di jalan raya, rendahnya mutu pelayanan
transportasi hingga betapa tidak layaknya kota ini disebut sebagai Ibu Kota
Indonesia (apakah hal ini bukan merupakan hinaan sekaligus tamparan untuk Kota
Jakarta?)
Selanjutnya, Florence dianggap
memecah rasa persaudaraan dan menimbulkan kecemasan di kalangan masyarakat
Yogyakarta. Di sinilah mungkin letak “kehebatan” seorang Florence Sihombing.
Kasusnya yang tak dapat dikategorikan sebagai tindakan kriminal mampu mengusir
permasalahan lain (yang lebih penting) dari tangga popularitas. Rasanya, ISIS
pun patut melakukan “protes” kepada masyarakat luas karena masyarakat tampaknya
lebih mengkhawatirkan ucapan Florence (yang sebenarnya tidak memprovokasi siapa
pun untuk menentang kedaulatan NKRI) dibandingkan ISIS yang jelas-jelas
merangkul masyarakat untuk membuat Negara Islam sendiri.
Aneh rasanya jika sejumlah orang rela
berdiri di jalan untuk mendukung penangkapan Florence Sihombing, sementara
hanya segelintir orang yang menaruh perhatian pada bahayanya pergerakan ISIS di
bumi pertiwi. Aneh rasanya jika polisi lebih rela mengeluarkan keringatnya
untuk menangkap Florence (yang tidak menunjukkan tanda perlawanan sama sekali)
dibandingkan mengejar keberadaan ISIS yang menggeliat lincah tanpa disadari.
Aneh rasanya jika kita (sebagai mahasiswa) mengetahui setiap detail kasus
Florence Sihombing, tetapi tidak menaruh minat terhadap pergerakan ISIS yang
diam-diam merajalela.
Tentu tidak seorang pun
mengatakan bahwa perbuatan yang dilakukan mahasiswi UGM tersebut adalah
tindakan yang tepat dan bijaksana. Namun, semua tentu
menyadari bahwa masih ada begitu banyak permasalahan sosial lain (yang tentunya
lebih penting karena menyangkut denyut nadi kehidupan masyarakat) yang harus
diselesaikan. Sayang rasanya jika kita, pemerintah, dan masyarakat hanya
membuang-buang energi untuk sebuah kasus “sepele” namun membiarkan kasus kelas
kakap menggantung tanpa ada penyelesaian.
Gambar diambil dari
With love,
Bella Bernadette
2013 022 017
Tidak ada komentar:
Posting Komentar