It Hurts But …
Notes
: Heii, people! Long time no see! Duh, maafkan sikapku yang tidak konsisten
dalam menghasilkan tulisan. *sujud mohon maaf*. Btw, tulisan ini terinspirasi
dari novel Refrain dan Remember When karya Winna Efendi. The novel is
definitely perfect ! Maka, jadilah tulisan ini sebagai bentuk kekagumanku
kepada untaian kata ala Winna Efendi *walaupun kadar kesempurnaan tulisan ini
masih jauh dari karya Winna Efendi*.. Pssst, tulisan ini dibuat BUKAN berdasarkan pengalaman
pribadi penulis yah. *mengkonfirmasi sebelum ada yang bertanya. hehehe*
“You know you're in love when you can't fall asleep
because reality is finally better than your dreams.”
–Dr. Seuss
Siapa sih yang ga pernah falling in love with someone? Semua
orang pasti pernah jatuh cinta. Entah itu dengan seseorang yang baru saja
dikenal, teman yang tidak pernah kita duga sebelumnya, kakak kelas yang kita
kagumi semenjak dulu, atau *ups!* sahabat yang selalu ada buat kita. Memang
sih, jatuh cinta adalah perasaan yang sangat istimewa karena terjadi melalui
mekanisme yang sulit dijelaskan secara logika. Namun, jangan salah, jatuh cinta
juga bisa membuat perasaan kita terjun bebas layaknya roller coaster. Apalagi kalau kita jatuh cinta pada seseorang yang
sudah menganggap kita sebagai sahabat atau (lebih parahnya lagi) kakak-adik-tak-sedarah.
*ouch*
Tak heran, perasaan serba salah
menghantui hari-hari kita. Perasaan kita pun terbang layaknya balon udara tak
bertuan *hehehe. Agak lebay yah bahasanya*. Saat mentari masih malu-malu
menampakkan sinarnya, senyum kita sanggup mengalahkan cerahnya mentari. Apalagi
kalau bukan hanya karena ucapan “good morning” (plus emoticon smile) super
standar yang diucapkan oleh sahabat yang kita taksir. Sementara guru masih sibuk mengoceh tentang rumus
trigonometri, otak kita sudah sibuk menyusun rencana akhir pekan bersama dia.
Saat bel istirahat berbunyi, langkah kita langsung bergegas. Kemana lagi kalau
bukan ke tempat favorit kita dan dia.
Jangankan orang lain, kadang aja
kita merasa heran. Kok bisa sih kita naksir dengan sahabat kita sendiri?
Padahal, kita hafal betul semua sifat “malaikat” dan “iblis”nya. Namun, kalau
dipikir-pikir, ga aneh juga sih kalau kita jatuh cinta sama sahabat yang satu
ini. Bagaimana ga jatuh cinta kalau sahabat adalah orang yang rajin “absen”
melalui ucapan good morning dan good night? Apalagi, karena sudah mengenal satu
sama lain, kita bisa bebas menceritakan apa pun padanya, mulai dari hal yang
super ga penting hingga hal-hal yang menguras pikiran kita. Belum lagi, sms
darinya yang sanggup membuat kita tersipu-sipu malu. Pokoknya, dia selalu
menciptakan hujan perhatian yang sukses menumbuhkan bibit-bibit cinta di hati
kita *hehehe. Kalimatnya cieee bgt*.
Pertanyaannya
sekarang, apakah sahabat juga merasakan perasaan yang sama dengan kita?
Awalnya sih kita benar-benar
clueless untuk menjawab pertanyaan tersebut. Ada kalanya, sikap protektif
sahabat yang selalu ingin melindungi kita membuat kita berpikir bahwa ia pun
memiliki perasaan yang sama. Namun, tak jarang, ejek-ejekan seperti “mana
mungkin sih gue naksir sama lo?!” atau pertanyaan seperti “kita akan selalu
jadi sahabat untuk selamanya kan?” membuat jawabannya menjadi ambigu. Situasi
seperti ini tentu membuat perasaan kita jadi ikut tak menentu. Senang sih
rasanya kalau dia selalu meluangkan waktunya untuk kita, tapi kita tentu
bertanya-tanya. Apakah ia selalu meluangkan waktunya karena punya perasaan
lebih atau memang karena dia menghargai kita sebagai sahabat? *ups*
Kalau sudah begini, tak ada cara
lain selain membiarkan waktu yang menjawabnya. *tsaah*
Anehnya, akhir-akhir ini, sahabat
sering menghilang bagaikan ditelan bumi. Sosoknya lenyap dari peredaran tanpa
alasan yang jelas. Tanda tanya pun memenuhi sel-sel otak kita. Kemunculan
sahabat setelah sekian lama menghilang tak lantas mengentaskan pertanyaan yang
memenuhi benak kita. Alasan seperti padatnya kegiatan di luar sekolah,
banyaknya tugas yang harus dikerjakan, ulangan yang menumpuk, hingga
kesibukannya berlatih basket tak memuaskan keingintahuan kita. Sebenarnya, tak ada yang salah dengan alasan tersebut, tapi …
Alasan itu tak pernah menjadi “alasan” sebelumnya. Maksudnya,
kalaupun dulu ia punya banyak janji hang out dengan teman segengnya, ia selalu
punya waktu untuk mengabari kita. Kalaupun dulu ia sibuk mengerjakan soal-soal
stoikiometri, ia masih bisa mengirimkan pesan singkat, sekadar untuk mengatakan
“aku belajar dulu yah.”
Perasaan kita pun menjadi
bercampur aduk. Sedih karena perubahan terjadi ke arah yang tidak kita
inginkan. Kecewa karna waktunya berubah menjadi komoditas yang mahal dan langka.
Marah karena tidak tahu harus berbuat apa. Sebagai sahabat, seolah ada
peraturan tertulis bahwa ia tak punya kewajiban untuk selalu mengabari kita
*benar juga sih! Hehehe*. Yaps, kita adalah orang yang
selalu ada untuknya, orang yang selalu siap mendengarkan ceritanya, orang yang
mau memahami kesulitannya, tetapi tidak punya “hak” untuk mengerti isi hatinya.
*jleb banget yah. Hehehe*
Sampai suatu hari, sahabat
meminta pendapat kita mengenai … *jreng jreng jreng* *suasana misterius* ORANG
YANG DITAKSIRNYA. *dibaca sekali lagi, ORANG YANG DITAKSIRNYA* Duh, rasanya
kita ingin (gantian) menghilang ditelan bumi. Apalagi saat sahabat meminta kita
untuk menemaninya mencari kado spesial untuk orang yang mengisi relung hatinya.
Ingin rasanya kita marah *tapi marah sama siapa?!* dan mengacuhkan pertanyaan
sahabat, tapi … Kalau kita bersikap begitu, sahabat pasti akan heran dan
bertanya-tanya tentang sikap kita yang berubah 180 derajat.
Akibatnya, kita pun terpaksa
mendengarkan cerita sahabat mengenai cewek yang sedang ditaksirnya. Perasaan
kesal pun berlipat ganda karena sahabat menceritakan semua perasaannya secara
blak-blakan tanpa sensor. Semua detail dari mulai pandangan pertamanya hingga
akhirnya ia ingin menyatakan perasaan pada cewek itu diceritakan non stop. Keki
sih, tapi kita sendiri tak tahu apa yang bisa (dan harus) dilakukan.
Penyesalan pun memenuhi benak
kita. Kenapa sih kita harus berkenalan dengannya dan
ditempatkan pada posisi sahabat? Masalahnya, kalau kita ga pernah menjadi
sahabat dia, mungkin kita juga ga akan pernah jatuh cinta sama dia. Kenapa
sih hubungan kita dan dia stuck pada tingkat sahabat? Kenapa sih kita (seolah)
tidak bisa mengungkapkan perasaan karena takut ia menjauh dari kehidupan kita?
Pokoknya, ada banyak sekali pertanyaan “kenapa” yang rasanya tidak cukup
dituliskan dalam selembar kertas folio *hehehe*.
So, the
question is what’s next? Kita punya seribu alasan atas kekecewaan
yang melingkupi hati kita, tapi kita juga seharusnya bersyukur. Mengapa? Karena
kita diberi kesempatan untuk mendapatkan jawaban yang selama ini kita cari. Mungkin
jawabannya bukan jawaban yang kita inginkan, tetapi jawaban itu mendorong kita
untuk membuka mata. Kita tak perlu lagi menghabiskan waktu untuk menunggunya
membalas sms kita. Tak ada lagi momen yang terbuang untuk sekadar menunggu
ucapan good morning yang super standar darinya. Enaknya lagi, perasaan kita tak
akan meluncur bebas layaknya roller coaster hanya karena sikapnya yang “hot and
cold” seperti lirik lagu Katy Perry.
Bohong jika kita mengatakan bahwa
kita baik-baik saja saat mendengar berita “bahagia” untuk sahabat kita. It
hurts, but … Seperti yang sudah diungkapkan di atas, kita punya kesempatan
untuk menyelamatkan waktu kita dari perasaan galau, ambigu, dan tak menentu. Tak ada lagi detik yang terbuang sia-sia untuk memikirkan
orang yang bisa lenyap ditelan bumi tanpa kabar yang jelas. Tak ada lagi menit
yang terpakai sia-sia untuk menduga-duga apa yang sedang mengisi pikiran orang
itu. Tak ada lagi jam yang berlalu sia-sia untuk menunggu kabar darinya. Tak
ada lagi hari-hari yang dilewati dengan penuh kebingungan mengenai perasaan
kita.
So,
what are we waiting for? Let’s get up and open your eyes widely ! :D
With
love,
Bella