Minggu, 20 Oktober 2013

It Hurts But …

Notes : Heii, people! Long time no see! Duh, maafkan sikapku yang tidak konsisten dalam menghasilkan tulisan. *sujud mohon maaf*. Btw, tulisan ini terinspirasi dari novel Refrain dan Remember When karya Winna Efendi. The novel is definitely perfect ! Maka, jadilah tulisan ini sebagai bentuk kekagumanku kepada untaian kata ala Winna Efendi *walaupun kadar kesempurnaan tulisan ini masih jauh dari karya Winna Efendi*.. Pssst, tulisan ini dibuat BUKAN berdasarkan pengalaman pribadi penulis yah. *mengkonfirmasi sebelum ada yang bertanya. hehehe*



“You know you're in love when you can't fall asleep because reality is finally better than your dreams.” –Dr. Seuss
Siapa sih yang ga pernah falling in love with someone? Semua orang pasti pernah jatuh cinta. Entah itu dengan seseorang yang baru saja dikenal, teman yang tidak pernah kita duga sebelumnya, kakak kelas yang kita kagumi semenjak dulu, atau *ups!* sahabat yang selalu ada buat kita. Memang sih, jatuh cinta adalah perasaan yang sangat istimewa karena terjadi melalui mekanisme yang sulit dijelaskan secara logika. Namun, jangan salah, jatuh cinta juga bisa membuat perasaan kita terjun bebas layaknya roller coaster. Apalagi kalau kita jatuh cinta pada seseorang yang sudah menganggap kita sebagai sahabat atau (lebih parahnya lagi) kakak-adik-tak-sedarah. *ouch*

Tak heran, perasaan serba salah menghantui hari-hari kita. Perasaan kita pun terbang layaknya balon udara tak bertuan *hehehe. Agak lebay yah bahasanya*. Saat mentari masih malu-malu menampakkan sinarnya, senyum kita sanggup mengalahkan cerahnya mentari. Apalagi kalau bukan hanya karena ucapan “good morning” (plus emoticon smile) super standar yang diucapkan oleh sahabat yang kita taksir. Sementara  guru masih sibuk mengoceh tentang rumus trigonometri, otak kita sudah sibuk menyusun rencana akhir pekan bersama dia. Saat bel istirahat berbunyi, langkah kita langsung bergegas. Kemana lagi kalau bukan ke tempat favorit kita dan dia.

Jangankan orang lain, kadang aja kita merasa heran. Kok bisa sih kita naksir dengan sahabat kita sendiri? Padahal, kita hafal betul semua sifat “malaikat” dan “iblis”nya. Namun, kalau dipikir-pikir, ga aneh juga sih kalau kita jatuh cinta sama sahabat yang satu ini. Bagaimana ga jatuh cinta kalau sahabat adalah orang yang rajin “absen” melalui ucapan good morning dan good night? Apalagi, karena sudah mengenal satu sama lain, kita bisa bebas menceritakan apa pun padanya, mulai dari hal yang super ga penting hingga hal-hal yang menguras pikiran kita. Belum lagi, sms darinya yang sanggup membuat kita tersipu-sipu malu. Pokoknya, dia selalu menciptakan hujan perhatian yang sukses menumbuhkan bibit-bibit cinta di hati kita *hehehe. Kalimatnya cieee bgt*.

Pertanyaannya sekarang, apakah sahabat juga merasakan perasaan yang sama dengan kita?

Awalnya sih kita benar-benar clueless untuk menjawab pertanyaan tersebut. Ada kalanya, sikap protektif sahabat yang selalu ingin melindungi kita membuat kita berpikir bahwa ia pun memiliki perasaan yang sama. Namun, tak jarang, ejek-ejekan seperti “mana mungkin sih gue naksir sama lo?!” atau pertanyaan seperti “kita akan selalu jadi sahabat untuk selamanya kan?” membuat jawabannya menjadi ambigu. Situasi seperti ini tentu membuat perasaan kita jadi ikut tak menentu. Senang sih rasanya kalau dia selalu meluangkan waktunya untuk kita, tapi kita tentu bertanya-tanya. Apakah ia selalu meluangkan waktunya karena punya perasaan lebih atau memang karena dia menghargai kita sebagai sahabat? *ups*

Kalau sudah begini, tak ada cara lain selain membiarkan waktu yang menjawabnya. *tsaah*

Anehnya, akhir-akhir ini, sahabat sering menghilang bagaikan ditelan bumi. Sosoknya lenyap dari peredaran tanpa alasan yang jelas. Tanda tanya pun memenuhi sel-sel otak kita. Kemunculan sahabat setelah sekian lama menghilang tak lantas mengentaskan pertanyaan yang memenuhi benak kita. Alasan seperti padatnya kegiatan di luar sekolah, banyaknya tugas yang harus dikerjakan, ulangan yang menumpuk, hingga kesibukannya berlatih basket tak memuaskan keingintahuan kita. Sebenarnya, tak ada yang salah dengan alasan tersebut, tapi … Alasan itu tak pernah menjadi “alasan” sebelumnya. Maksudnya, kalaupun dulu ia punya banyak janji hang out dengan teman segengnya, ia selalu punya waktu untuk mengabari kita. Kalaupun dulu ia sibuk mengerjakan soal-soal stoikiometri, ia masih bisa mengirimkan pesan singkat, sekadar untuk mengatakan “aku belajar dulu yah.”

Perasaan kita pun menjadi bercampur aduk. Sedih karena perubahan terjadi ke arah yang tidak kita inginkan. Kecewa karna waktunya berubah menjadi komoditas yang mahal dan langka. Marah karena tidak tahu harus berbuat apa. Sebagai sahabat, seolah ada peraturan tertulis bahwa ia tak punya kewajiban untuk selalu mengabari kita *benar juga sih! Hehehe*. Yaps, kita adalah orang yang selalu ada untuknya, orang yang selalu siap mendengarkan ceritanya, orang yang mau memahami kesulitannya, tetapi tidak punya “hak” untuk mengerti isi hatinya. *jleb banget yah. Hehehe*


Sampai suatu hari, sahabat meminta pendapat kita mengenai … *jreng jreng jreng* *suasana misterius* ORANG YANG DITAKSIRNYA. *dibaca sekali lagi, ORANG YANG DITAKSIRNYA* Duh, rasanya kita ingin (gantian) menghilang ditelan bumi. Apalagi saat sahabat meminta kita untuk menemaninya mencari kado spesial untuk orang yang mengisi relung hatinya. Ingin rasanya kita marah *tapi marah sama siapa?!* dan mengacuhkan pertanyaan sahabat, tapi … Kalau kita bersikap begitu, sahabat pasti akan heran dan bertanya-tanya tentang sikap kita yang berubah 180 derajat.

Akibatnya, kita pun terpaksa mendengarkan cerita sahabat mengenai cewek yang sedang ditaksirnya. Perasaan kesal pun berlipat ganda karena sahabat menceritakan semua perasaannya secara blak-blakan tanpa sensor. Semua detail dari mulai pandangan pertamanya hingga akhirnya ia ingin menyatakan perasaan pada cewek itu diceritakan non stop. Keki sih, tapi kita sendiri tak tahu apa yang bisa (dan harus) dilakukan.

Penyesalan pun memenuhi benak kita. Kenapa sih kita harus berkenalan dengannya dan ditempatkan pada posisi sahabat? Masalahnya, kalau kita ga pernah menjadi sahabat dia, mungkin kita juga ga akan pernah jatuh cinta sama dia. Kenapa sih hubungan kita dan dia stuck pada tingkat sahabat? Kenapa sih kita (seolah) tidak bisa mengungkapkan perasaan karena takut ia menjauh dari kehidupan kita? Pokoknya, ada banyak sekali pertanyaan “kenapa” yang rasanya tidak cukup dituliskan dalam selembar kertas folio *hehehe*.

So, the question is what’s next? Kita punya seribu alasan atas kekecewaan yang melingkupi hati kita, tapi kita juga seharusnya bersyukur. Mengapa? Karena kita diberi kesempatan untuk mendapatkan jawaban yang selama ini kita cari. Mungkin jawabannya bukan jawaban yang kita inginkan, tetapi jawaban itu mendorong kita untuk membuka mata. Kita tak perlu lagi menghabiskan waktu untuk menunggunya membalas sms kita. Tak ada lagi momen yang terbuang untuk sekadar menunggu ucapan good morning yang super standar darinya. Enaknya lagi, perasaan kita tak akan meluncur bebas layaknya roller coaster hanya karena sikapnya yang “hot and cold” seperti lirik lagu Katy Perry.

Bohong jika kita mengatakan bahwa kita baik-baik saja saat mendengar berita “bahagia” untuk sahabat kita. It hurts, but … Seperti yang sudah diungkapkan di atas, kita punya kesempatan untuk menyelamatkan waktu kita dari perasaan galau, ambigu, dan tak menentu. Tak ada lagi detik yang terbuang sia-sia untuk memikirkan orang yang bisa lenyap ditelan bumi tanpa kabar yang jelas. Tak ada lagi menit yang terpakai sia-sia untuk menduga-duga apa yang sedang mengisi pikiran orang itu. Tak ada lagi jam yang berlalu sia-sia untuk menunggu kabar darinya. Tak ada lagi hari-hari yang dilewati dengan penuh kebingungan mengenai perasaan kita.

So, what are we waiting for? Let’s get up and open your eyes widely ! :D


With love,

Bella




Sabtu, 07 September 2013

(Benarkah) Tidak Ada Pilihan yang Salah


Tanpa kita sadari, setiap detik kehidupan dimulai dengan pilihan yang diikuti proses seleksi dan menjatuhkan pilihan. Ada kalanya pilihan itu terasa mudah dan tak banyak menuntut pertimbangan. Namun, tak sedikit pilihan yang sanggup membuat kening kita berkerut dan bertanya-tanya “benarkah pilihan yang saya ambil?”

Walaupun sudah mendengar banyak sekali petuah, memilih kuliah beserta jurusannya tak pernah menjadi hal yang mudah (terutama bagiku. ;D). Pertanyaan yang memenuhi benak tak sekadar “mau kuliah dimana?” atau “mau mengambil jurusan apa?”. Lebih dari itu, prospek kerja di masa depan dan relevansi jurusan yang diambil dengan profesi impian turut menjadi pertanyaan yang tak mudah untuk dijawab.

Masa SMA, yang digadang-gadang sebagai  momen pencarian jati diri, menyadarkanku akan beberapa hal. Setelah sekian lama mendeklarasikan matematika sebagai pelajaran favorit (semenjak SD sampai SMP), aku berbalik arah untuk menjauhinya. Rumus trigonometri dan soal peluang tak lagi menarik minatku. Anehnya, berita politik di media massa sanggup membuatku bangun lebih pagi untuk sekadar melahap tulisan di koran. Tak hanya membaca, menulis turut menjadi aktivitas yang tak pernah lepas dariku. Padahal selama ini, tak pernah terpikir dalam benakku untuk belajar menulis dari novel karya Winna Effendi yang sering menemani hari-hariku.

Hal-hal “ajaib” yang selama ini terpendam dan akhirnya kutemukan tentu saja membawa perubahan terhadap orientasi masa depanku. Dulu, saat temanku bertanya mengenai jurusan kuliah yang menarik hatiku, dengan tegas aku akan menjawab “FMIPA”. (hehehe. Kok bisa yah dulu berpikir untuk ambil jurusan ini?! :P). Sekarang, tak sedikit pun kakiku melangkah menuju ke sana. Ada pun jurusan yang ingin kutekuni adalah Ilmu Komunikasi, Kriminologi, dan Hukum.  Hal-hal “ajaib” itu rupanya sukses mengubah caraku menapaki masa depan.

Pertanyaan selanjutnya terasa lebih berat untukku, yaitu “mau kuliah dimana?” Sejak awal, aku bertekad untuk memasuki gerbang kuliah tanpa perlu mengikuti tes formal. Aku pun mencari informasi mengenai universitas yang membuka jalur undangan tanpa tes dan ke sanalah kakiku melangkah. Mengirimkan rapor, menunggu pengumuman, dan akhirnya diterima merupakan proses yang berakhir menyenangkan untukku. Kupikir, sudah tak ada lagi waktu yang tersita untuk melamun dan bertanya-tanya mengenai masa depan.

Tiba-tiba saja, papa memintaku untuk mengikuti tes masuk Perguruan Tinggi Negeri. Tak pernah terbayang dalam anganku untuk ikut bergabung bersama ratusan pelajar lainnya guna memperebutkan kursi yang terbatas. Rencana liburan panjang seusai Ujian Nasional yang sudah kurencanakan matang-matang berubah drastis. Tak ada waktu seharian penuh untuk berbagi kisah dengan novel Gagas Media kesukaanku.  Kurva supply dan demand, lapisan batuan, dan jenis agen sosialisasi mengisi waktu pagiku. Materi baru dalam jumlah banyak dan harus diselesaikan dalam waktu singkat meningkatkan pesimismeku. Ada banyak sekali pelajar yang sudah mengincar PTN dan mempersiapkan diri jauh-jauh hari. Sementara aku hanyalah anak IPA yang belum pernah berkenalan sedikit pun dengan kurva ekonomi.

Pada hari pengumuman, jantungku berdetak lebih cepat walaupun otakku sudah berulangkali memperingatkanku untuk bersikap realistis. Aku pun melonjak kegirangan tatkala aku dinyatakan lolos ke sebuah perguruan tinggi negeri di Bandung dengan jurusan pilihan Ilmu Komunikasi. Kupikir, masa depan kuliahku sudah terpeta dengan jelas. Pergi ke Bandung dan memulai kehidupan sebagai mahasiswa.

Faktanya, menentukan pilihan yang menyangkut masa depan memang tak pernah mudah. Aku lupa memikirkan sebagian lain dari hidupku (selain kehidupan perkuliahan). Jika aku pergi ke Bandung, ada beberapa hal yang (mau tak mau) harus kulepaskan. Tak ada hari Jumat yang terasa menyenangkan karena ada les piano. Kesempatanku untuk mengajar di sebuah sekolah gratis pun mungkin akan lenyap. Belum lagi kegembiraan saat mengajar sekolah minggu yang tak akan kujumpai lagi. Sementara di satu sisi, (menurut banyak orang) prospek kerja mahasiswa lulusan PTN lebih luas dibandingkan mahasiswa non PTN.



Di tengah kebingungan, ada satu kalimat sederhana yang dilontarkan salah seorang temanku tatkala aku menceritakan permasalahanku. “Tak ada pilihan yang salah, yang penting, jangan menjadikan pilihan itu menjadi salah”. Ia tidak memberikan opini yang bersifat menghakimi, seperti pendapat bahwa lulusan PTN memiliki prospek kerja yang lebih luas dibandingkan mahasiswa non PTN. Ia hanya memintaku untuk membuat daftar peluang yang kudapatkan dan kesempatan yang kulepaskan sebagai konsekuensi dari masing-masing pilihan.

Tentu saja masalahku tidak langsung terpecahkan seusai pertemuan singkat itu. Eksekusi pilihan tetap berada di genggamanku. Begitu juga tanggungjawab yang harus dijalankan sebagai konsekuensi dari keputusanku. Namun, setidaknya, aku menjadi lebih percaya diri dengan pertimbangan yang sudah kupikirkan masak-masak.

Selama ini, banyak orang mengatakan bahwa tak ada pilihan yang salah dalam roda kehidupan. Jujur saja, aku tak begitu mempercayainya. Logikaku mengatakan, jika tak ada pilihan yang salah, mengapa tak sedikit orang yang tidak bisa berada dalam puncak kesuksesannya? Jika tak ada pilihan yang salah, mengapa banyak mahasiswa yang menyesali jurusan yang dipilihnya semenjak awal? Jika tak ada pilihan yang salah, mengapa banyak orang yang ingin memutar waktu dan mengganti pilihannya di masa lampau? Jika tak ada pilihan yang salah, mengapa kita bertemu dengan seseorang, jatuh cinta, dan akhirnya memutuskan untuk berpisah? *curcol. Hehehe.*

Rupanya, ada sepenggal kalimat yang terputus dari petuah tersebut. Memang tak ada pilihan yang salah karena yang penting, kita tidak menjadikan pilihan itu menjadi salah. Aku belum memahami makna pernyataan ini sepenuhnya, tapi kira-kira begini caraku menafsirkannya dalam persoalan yang sedang kuhadapi.

Bukan merupakan sebuah kesalahan jika aku memutuskan untuk tetap tinggal di Jakarta dan melangkah menuju kampus yang semenjak awal kutuju. Namun, pergi ke Bandung dan belajar hidup mandiri tanpa orangtua juga bukan merupakan pilihan yang salah. Loh, kok begitu? Jadi mana yang harus dipilih?

Jika aku memilih untuk pergi ke Bandung, aku harus belajar mandiri seutuhnya, belajar dengan kesungguhan, dan memanfaatkan peluang yang ada di kampus dengan cara terlibat aktif dalam kegiatan kemahasiswaan. Jika aku memilih tinggal di Jakarta, aku harus belajar dengan tekun di kampus sambil memaksimalkan waktu dan peluang yang ada di sini. Karena di sekitar tempat tinggalku terdapat berbagai kursus bahasa, aku tak boleh menyia-nyiakan kesempatan untuk mempelajarinya. Karena aku sudah dipercaya menjadi pengajar di sekolah minggu, aku tak boleh malas menyiapkan materi dan terus berlatih mengorganisir setiap kegiatan. Karena aku punya fasilitas internet, laptop, dan waktu luang di hari Sabtu, aku wajib menulis blog agar kemampuanku terasah.

Intinya, sebanyak apa pun peluang dari sebuah pilihan, peluang itu akan menjadi sia-sia jika kita tidak cekatan dalam memanfaatkannya. Tidak ada pilihan yang salah, yang penting, jangan menjadikan pilihan itu menjadi salah. Bersungguh-sungguh dalam mengambil keputusan dan memperjuangkan apa yang sudah kita yakini sebagai pilihan merupakan langkah nyata dalam rangka menjadikan pilihan itu menjadi pilihan terbaik. Tak ada pilihan yang paling benar atau pun pilihan yang sangat buruk. Tepat atau tidaknya keputusan yang kita ambil, sangat bergantung pada peran kita untuk menjadikan pilihan itu menjadi tepat adanya.

Have a nice day, people ! :D

N.B. : thanks, Kak Gideon for the advice. Btw, kalimat itu jadi motto hidupku loh! ;D

Picture taken from shutterstock.com


Rabu, 07 Agustus 2013

Yes, WE ( YOU and I)  can !

Jalanan yang disesaki kendaraan bermotor, kepadatan penumpang di stasiun bus, dan berdesak-berdesakkan di kereta sukses membuat kita manyun. Siapa juga sih yang ga keburu bete melihat semrawutnya lalu lintas di ibu kota? Kalau sudah begitu, kita cuman bisa mengurut dada dan menjadikan twitter sebagai tempat menampung keluhan yang sudah berada di ujung bibir.
Eits, siapa bilang kita CUMAN BISA bersikap pasif dan mengeluh di media sosial? Emang sih, kita ga mungkin mengurangi volume kendaraan bermotor. Lebih ga mungkin lagi kalau kita mengatur semua calon penumpang di stasiun untuk mau antri dan tertib. Tenang, kita masih bisa kok berbuat sesuatu daripada sekadar mengeluh di media sosial.

It started from small things. It started from ourshelves.

Nebeng yuk !
Rasanya emang ga mungkin mengurai kemacetan yang dapat dikategorikan lumayan parah di ibu kota, tapi kita bisa kok mengurangi frekuensi penggunaan kendaraan pribadi. Kabar baiknya, kita bisa memulai hal tersebut dari diri kita sendiri. Gampangnya nih, kita bisa nebeng teman yang pergi ke tujuan yang searah atau mengajak teman pergi bareng dengan kendaraan kita. Selain menghemat bensin dan mengurangi polusi udara, hitung-hitung, kita jadi punya teman ngobrol sepanjang perjalanan. Dijamin, rasa sebal akibat macet dapat berkurang drastis.


Stop pada tempatnya !
Niatnya sih kita mau “bersikap ramah” terhadap kemacetan dengan cara naik angkot. Eh, kita malah menyetop angkot seenaknya. Jangan heran, supir angkot itu pasti akan “mengabulkan permintaan” kita karena membutuhkan penumpang. Udah tau angkotnya sedang melaju kencang di tengah-tengah jalan. Karena kita melambaikan tangan, supir angkot pun nekat mengerem kendaraannya dan memaksakan diri untuk berpindah ke jalur paling kiri.
Bayangkan kalau kita jadi pengendara di belakang angkot tersebut. Pasti kita juga jadi ikutan ngerem tiba-tiba. Hal ini tentu saja berbahaya bagi keselamatan pengemudi lainnya. Oleh karena itu, pastikan kita sudah memberi tanda pada angkot tersebut jauh-jauh atau menyetop angkot yang sedang melaju dalam kecepatan normal.

Berebutan itu bukan gaya gue.
Penumpang yang berjejalan di stasiun kereta atau halte bus pasti bukan hal baru bagi pengguna kendaraan umum. Jumlah penumpang yang tidak sebanding dengan jumlah armada yang tersedia membuat kita (terpaksa) berebutan tempat. Abis, gimana lagi dong, kalau kita ga ikut berjejalan dan melakukan aksi dorong-dorongan, pasti ga kebagian tempat.
Pemikiran di atas memang tidak sepenuhnya salah, tapi ingat, kita juga punya kewajiban untuk menghormati penumpang lain. Seringkali terjadi, belum juga penumpang dari dalam kereta menjejakkan kakinya ke atas peron, calon penumpang di stasiun memaksa masuk ke dalam kereta dengan alasan khawatir tidak mendapatkan tempat. Semua orang memang harus bergegas karena dikejar waktu, tapi kita tetap harus menjaga hak orang lain. Ga ada salahnya kan kita menunggu sebentar di tepi pintu masuk dan mempersilahkan penumpang dari dalam untuk menghirup udara stasiun dengan aman dan nyaman.

Ada jembatan penyeberangan tuh !
Mau menyeberang jalan aja, kita harus menaiki anak tangga yang jumlahnya tidak sedikit. Uh, kayaknya, lebih enak kalau kaki kita langsung melangkah melewati jalan raya. Memang sih, naik jembatan penyeberangan memerlukan pengorbanan waktu dan tenaga. Jarak yang bisa ditempuh dalam tempo waktu kurang dari satu menit berubah menjadi lebih dari tiga menit. Belum lagi peluh yang menetes karena kondisi udara yang panas.
Semua itu memang terasa berat kalau kita mengindahkan keselamatan di jalan raya. Tidak dipungkiri, kendaraan di jalan-jalan besar melaju dengan kecepatan tinggi. Jarang sekali ada pengemudi yang mau mengurangi kecepatannya dan mempersilahkan pejalan kaki menyeberang. Daripada harus menghadapi resiko yang lebih besar, ga ada salahnya kan kita menyeberang pada tempatnya, misalnya jembatan penyeberangan dan zebra cross.

Silahkan lewat.
Kalau berperan menjadi pejalan kaki, pasti kita geram melihat kendaraan yang ogah memelankan lajunya pada saat kita ingin menyeberang. Nah, bagaimana kalau posisinya dibalik? Kita menjadi pengendara dan ada pejalan kaki yang ingin menyeberang. Sebagai orang yang sering harap-harap cemas saat ingin menyeberang, boleh dong kita mengurangi laju kendaraan dan memberi kesempatan bagi orang lain untuk menyeberang jalan dengan aman.



Big things started from small things 


Picture taken from gettyimages.com dan google.com

Minggu, 23 Juni 2013

Welcome back here, guys ! :D

Hmm, pasti (sebagian) orang yang mengeja kata-kata “welcome back here, guys!” bakal bertanya-tanya. Kenapa harus welcome back? Welcome back alias selamat datang kembali seharusnya kan diucapkan bagi orang yang udah pernah mampir ke blog ini sebelumnya. Padahal, kalo ditelusuri sejenak, blog ini belum pernah memproduksi secuil pun tulisan.


Yaps, that’s true. To be honest, this is not my first blog. Sebelum jatuh cinta pada blogspot, aku sudah pernah menambatkan hati pada posterous. Posterous adalah semacam platform blog gratis. Walaupun sejenis dengan wordpress dan blogspot, popularitas posterous bisa dikategorikan sebagai junior.
Unfortunately, beberapa bulan lalu (tepatnya 30 April 2013), posterous memutuskan untuk menutup situs layanan bloggingnya. Alasannya, perusahaan tersebut ingin lebih fokus dalam mengembangkan twitter. Yaps, sebagai penggemar setia posterous, aku pun harus rela menutup blog kesayanganku dan mencari tempat baru untuk menuangkan pundi-pundi pikiranku.
So, here I am. Setelah browsing sana-sini, logika dan perasaanku sepakat untuk memilih blogspot sebagai rumah produksi kata-kata yang baru.
Last but not least, enjoy my blog ! Yey yey yey ! :D
With love and happiness,
Bella Bernadette

Say “hi” to me at :
Twitter                 @bellolavep
Facebook            Bella Bernadette
Instagram             @bellolavep