Tujuh belas hari aku genap berusia 27 tahun. “Cieee, one step closer to 30” , suara itu yang kerap kali muncul di benakku akhir-akhir ini. Seperti sebagian besar orang, aku tidak merasakan perubahan berarti setelah meniup lilin ulangtahun.
Usai menyuap potongan sushi pada
perayaan ulangtahunku, tentu aku tak serta merta mencapai hal-hal yang ingin kuraih.
Masih ada proses yang harus kujalani. Masih ada hari esok yang harus dilalui.
Tak cuman itu, merasa ga dewasa, (masih) suka bingung dengan diri sendiri, dan galau
soal masa depan tetap kurasakan. Dulu, kupikir, setelah melewati usia 25 yang
digalang-galang sebagai Quarter Life Crisis, frekuensi munculnya perasaan itu
akan menghilang.
Ternyata “tidak semudah itu,
Ferguso” #brb ndusel di pojokan
Ngomong-ngomong soal kedewasaan, (sumpah)
rasanya sulit mendefinisikan apa-sih-artinya-dewasa.
Apa dewasa itu berarti berhenti bertingkah
kekanakan? Atau mungkin dewasa itu berarti ga menangis ketika masalah
bertubi-tubi melanda? Atau dewasa itu berarti tetap tersenyum biarpun hari
terasa berat untuk dilalui?
Huaaa, kalo definisinya begitu,
kayaknya sampe usia 80 tahun pun, aku ga akan menyentuh sifat dewasa itu deh.
Biar ga semakin bingung, aku mencoba mengambil makna dewasa dari Pijar Psikologi (anyway, mereka punya koleksi buku-buku psikologi yang okeee banget. You guys have to read it at least one of their collections)
Dewasa adalah tentang memaknai kembali
semua pengalaman hidup, berfokus pada pengembangan diri di saat ini,
dan bersiap menghadapi jatuh bangun yang akan terjadi di masa mendatang.
Dewasa
artinya bertumbuh. Bersedia untuk tumbuh bersama diri sendiri, mencintai
kekurangan dan kelebihan, optimis pada masa depan, serta berusaha untuk lebih
baik dari diri yang sebelumnya.
Berkaca pada definisi tersebut, perjalananku
usai menamatkan Pendidikan S1 mungkin menjadi pengalaman yang banyak
mendewasakan diriku sebagai pribadi yang bocah nan kekanak-kanakan.
Bekerja membuatku merasakan makna
bertanggungjawab sesungguhnya. Berbeda dengan kuliah (dimana kita membayar
sejumlah uang untuk mengenyam pendidikan), bekerja menuntutku untuk
bertanggungjawa terhadap suatu hal. Sebagai timbal baliknya, aku menerima
sejumlah uang setiap akhir bulan (baca : gaji)
Ketika melangkahkan kaki sebagai
Fresh Graduates, setiap hari diisi dengan kebingungan demi kebingungan. Aku
dituntut untuk belajar dengan lebih cepat, lebih cepat, dan lebih cepat lagi. Aku
diharapkan mampu menyelesaikan masalah demi masalah yang menghampiriku.
Kalo kata seniorku “ya wajar
dongs. Kamu kan dibayar untuk menyelesaikan masalah itu. Kalo ga ada masalah
apa-apa, ga perlu ada kamu di sini dongs?”
HUAAAA, bener juga sih, ujar batinku
yang selalu diliputi kebingungan.
Dengan bekerja, aku merasakan
banyak hal baru yang tak terduga. Menunda menangis karena ada hal urgent yang
harus diselesaikan adalahb pengalaman baru untukku.
Dulu, tak sulit rasanya untuk menangis.
Hal itu terjadi secara natural. Tak perlu dipikirkan secara berlebihan. Ya
terjadi begitu saja intinya.
Ketika bekerja, untuk pertama
kalinya, aku berpikir “Kayaknya nangisnya ditunda nanti sore aja deh after
office. Soalnya masih ada deadline projek A.” Serius deh, ga terbayang aku
bakal berpikir seperti ini.
Atau kalo sudah terlalu kesal dan
pengen nonjokkin orang yang bikin kesel *anarkis bgt anaknya ya, Bells*, opsi
terbaik adalah menangis sambil bekerja WKWKWKWKWKWKWKKW. Rasanya aneh jika
dibayangkan ya. Tapi … faktanya, aku yakin pasti banyak yang melakukan itu *ga
mau dianggap aneh sendirian*
Bahkan ada momen dimana aku berpikir, “Buang-buang waktu ga ya nangis begini? Kalo nangis, aku jadi ga bisa menyelesaikan pekerjaan A, B, C, dstnya?!” Solusi terbaiknya apalagi kalo bukan nangis sambil mengerjakan pekerjaan kantor bukan? WKWKWKW #keseeel #mengapa aku begini
Ucapan rekan kerja yang menyakiti
hati (HUAAA), keputusan yang dibuat tanpa mempertimbangkan pendapat kita, teman
setim yang mengabaikan kesepakatan yang telat dibuat (aduh, macam gebetan yang
suka janji manis tapi ga pernah ditepatin dah), dilangkahi berulangkali dalam
proses pengerjaan sebuah projek, atau sesederhana dipotong pendapatnya hanya
ketika aku baru mengucapkan beberapa kalimat sementara orang lain sudah
menceritakan berparagraf-paragraf opininya … mungkin adalah hal-hal yang
sanggup membuat aku sedih 😊
Kalo ada yang bilang nangis
karena kerjaan itu culun, ya gpp. 😊 Semua orang bebas memiliki pendapatnya.
Tapi buatku, menangis tuh tanda
kalo aku masih normal uyy! Aku bukan robot yang dibayar untuk menyelesaikan
pekerjaan. Tapi ya aku manusia yang jelas punya perasaan, kecewa ketika aku
memperjuangkan orang lain tapi orang lain seenaknya menyakiti hati, dan bisa
patah hati dan malas untuk “kembali seperti semula”.
Nangis boleh, berhenti melangkah jangan
EAAAA #sipalingdewasa.
Kalo bait lagu di atas bilang “bolehkah
aku menangis sbelum kembali membohongi diri?”
Kalo aku bilang “bolehkah aku
menangis sbelum kembali bekerja dan hahahihi lagi”
Aku ga peduli ada berapa kali
lagi kita harus bekerja sambil menangis, tapi yang aku tahu, menangis tak
berarti lemah. Menangis cuman bentuk validasi perasaan kita terhadap hal-hal
yang terjadi di sekitar kita. Menangis cuman bentuk pertahanan diri kita (ya
daripada teriak-teriak-kesel terus jambak-jambak-manja orang yang bikin kita
emosi jiwa)
Karena menangis se ga merugikan
itu (hehehe), jangan takut nangis cuman karena takut dianggap lemah. HEHEHE
At the end of the day, cuman “diri
kamu” yang akan selalu ada untuk dirimu. Cuman “diri kamu” yang harus berjuang
dan bertanggungjawab untuk menjalani hidup ini sampai titik selesai 😊
Jadi menangislah ketika merasa
sedih, tapi jangan pernah berhenti melangkah karena perasaan terluka itu cuman
sementara (dendamnya yang selamanya WKWKWK #candaaa wkwkwk). Matahari masih
terbit besok dan masih ada segudang cerita yang menunggu untuk kita jalani.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar