Sabtu, 01 Agustus 2020

Iphone 11


Kotak putih berdesain minimalis itu masih tergeletak di atas meja kantor. Plastik transparan pembungkusnya masih melindungi kotak persegi panjang itu. Seolah paham bahwa pemiliknya telah menguras tabungannya untuk memiliki benda itu.

“Cara memindahkan chat WA dari android ke Iphone”

Begitu jemariku mengklik tombol enter, 235.000 hasil pencarian tampil di layar search engine Google. Mataku spontan menelusuri sembilan artikel yang muncul di laman pencarian pertama. Sebuah aplikasi bernama Dr. Fone menarik perhatianku. Hampir semua artikel yang kutemui menyarankanku untuk mengunduh aplikasi tersebut.

Tak puas hanya membaca artikel, halaman Youtube menjadi tujuanku berikutnya. Rupanya aplikasi berlogo tanda tambah itu memang sudah difavoritkan oleh pengguna Android yang hijrah menjadi pengguna Apple.

Sial, aplikasi yang didominasi warna biru putih itu rupanya tak dapat digunakan secara maksimal jika diunduh secara cuma-cuma. Demi menyelamatkan chat Whatsapp-ku, mau tak mau aku harus merogoh kocek tambahan. Tak mungkin rasanya aku membiarkan semua percakapanku hilang begitu saja mengingat semua pekerjaanku terbenam di sana.


Sebagai budak korporat yang bertanggungjawab di bagian digital marketing, chat ini menjadi senjata ampuhku setiap kali ada agency yang melenceng dari brief yang kuberikan. Bukti chat ini menjadi penting tatkala terjadi hal-hal di luar ekspektasi. Misalnya, konten Instagram yang tak mengindahkan brand guidance perusahaan (walaupun kuakui, seringkali eksekusi yang tak dibatasi banyak aturan kerapkali lebih menarik perhatian audience. Tapi ... ahh, sudahlah, hidup sudah sulit. Aku tak ingin bermasalah dengan atasanku cuman karena idealismeku yang muncul di waktu tak tepat)

“Kamu benar-benar barang mahal ya”, ucapku pelan sambil mengeluarkan sebuah ponsel yang digadang-gadang sebagai mahakarya Steve Jobs.

Dengan hati-hati, kuletakkan ponsel berwarna hijau mint itu di atas tumpukan berkas materi promosi yang tak ada habisnya. Sepasang kamera boba yang menempel cantik di sudut kiri Iphone itu seolah mencibir perlakuanku yang ekstra waspada.

Sebagai pengguna baru produk Apple, kuakui, jumlah tabungan yang kubayarkan di website resmi Ibox jauh dari kata murah. Akibatnya, muncul semacam tekanan untuk menjaga benda mungil ini sebaik-baiknya.

Tak hanya harga perangkatnya yang membuatku merasa tercekik, aksesoris yang harus kulengkapi juga menjadi alasan meningkatnya frekuensi lemburku akhir-akhir ini. Untuk memastikan benda ini tak tergores, aku memilih sebuah casing transparan yang (lagi-lagi) jauh dari kata murah.

Huft, bahkan di saat kupikir bahwa casing handphone adalah benda mahal terakhir yang perlu kubeli di akhir bulan, rupanya masih ada aplikasi Dr. Fone yang harus kuunduh demi melindungi karirku di dunia digital marketing.

Lembur Lagi, Lagi Lembur
Photo by Lee - Canva

“Mau pesan apa nih?” kalimat Stefan, salah satu rekan kerjaku, sontak mengembalikan kesadaranku.

Empat jam terakhir, perhatianku tersita oleh konsep peluncuran produk baru motor Sport. Di tengah pandemi corona, digital marketing menjadi pusat perhatian bos besar (sebutan yang diberikan untuk kepala divisi Sales & Marketing). Mau tak mau, pekerjaanku bertambah. Ada puluhan revisi yang sudah kulalui untuk memantapkan konsep yang kutawarkan.

Usai mengirim konsep baru tersebut ke agency, otakku kembali bekerja sebagaimana mestinya. Iphone 11 berwarna hijau mint itu kembali menjadi pusat duniaku #lebay mode on#

Percayalah, ini pertama kalinya aku bersikap senorak itu terhadap sebuah benda. Maklum, iphone 11 ini adalah benda termahal yang pernah kubeli dengan uangku sendiri. Otakku bahkan kerap kali mengkonversi berapa hari yang harus kuhabiskan di kantor ini untuk membeli ponsel apik itu.

Aku menarik napas lega tatkala proses pemindahan chat Whatsappku berlangsung mulus. Refleks, ku scroll chat Whatsapp di layar Iphone-ku. Aku perlu memastikan bahwa semua chat itu sempurna berpindah dari ponsel Android ke produk berlogo apel itu.  

Bahkan, saking sempurnanya proses pemindahan itu, aku baru menyadari bahwa semua chatmu juga tersimpan rapi di sana. Bukan hanya di ruang chat antara kita, tapi juga di bagian starred messages.

Tahu kan fitur starred messages di Whatsapp? Awalnya, aku menggunakan fitur ini untuk menyimpan percakapan penting terkait  urusan pekerjaan digital marketing sehingga aku tidak perlu men-scroll chat panjang kali lebar dengan agency. Dengan fitur ini, otomatis percakapan penting yang kutandai akan tersimpan dalam satu tempat yang sama.

Sialnya, fitur ini juga kugunakan untuk menandai percakapan favoritku denganmu. Bodoh bukan? Fitur penting macam Starred Messages ini memang sewajarnya digunakan untuk hal-hal penting terkait pekerjaan. Tapi, mungkin, waktu itu, aku sendiri yang dengan sukarela menempatkanmu dalam bagian penting hidupku.  

Ingin rasanya kuabaikan semua pesan singkatmu yang kutandai dengan Starred Messages seperti kamu yang dengan mudahnya mengabaikanku di hari-hari terakhir kebersamaan kita. Seperti kamu yang tak perlu bersusah payah bersikap seolah-olah status kita tak pernah lebih dari rekan kerja. Bahkan di saat seperti ini pun aku masih bisa menyebut “kita”, sebuah kata yang pernah terasa nyata, lalu berangsur-angsur menjadi bayangan imajinasiku.

Kalau kamu berpikir pengabaianmu adalah bagian yang tak kan pernah bisa kumaafkan, kamu salah besar.

Berakhir tanpa kejelasan mungkin adalah bagian cerita kita yang tidak bisa sulit kumaafkan. Bagian yang akan selalu membuatku bertanya-tanya. Bagian yang memaksaku menganalisa dimana letak kesalahanku dalam kisah singkat itu. Bagian yang membuat malamku dipenuhi tanda tanya antara awal dan akhir. Bagian yang membuatku tenggelam (atau mungkin kata “ditenggelamkan”) di antara rasa bersalah, keterbatasanku, dan juga ketidakdewasaanku. Bagian yang membuatku ragu untuk terus melangkah maju. Bagian yang membuatku terjebak di antara keputusasaan, kebingungan, dan juga rasa gengsiku. Bagian yang membuatku bertanya apa arti “kita” selama ini. Bagian yang membuatku bertanya apakah semua paragraf yang tertulis hanya seonggok kalimat tanpa makna.

Huft, lelah berkutat dengan pekerjaan rupanya membuatku tak mampu berpikir logis. Aku tahu, tak seharusnya aku membaca semua pesanmu yang kusimpan dalam fitur Starred Messages. Apalagi membacanya berdasarkan kronologi waktu.

Membaca ulang sebuah pesan secara runut selalu memancing runtutan cerita yang pernah terbentang antara kamu dan aku. Cerita yang pernah indah pada masanya, lalu berakhir buruk pada waktunya.
Bodohnya, sepasang mataku malah terperangkap dalam kalimat-kalimat yang pernah kamu tujukan padaku. Mencoba mengingat momen manis apa sedang terjadi kala pesan tersebut kuterima. Menelaah kembali maknamu yang pernah menggoreskan warna cerah dalam hari-hariku yang selalu terjerat dengan sibuknya pekerjaan. Melihat kembali benang merah antara aku dan kamu, yang kini telah berubah menjadi sesuatu yang kusut dan sulit terurai.

Sial, sial, sial! Mengapa lembur kali ini dipenuhi oleh bayangmu. Seolah ada kekuatan yang lain yang memaksaku terpaku pada pesan-pesanmu yang kusimpan dalam fitur Starred Messages.

Aku bahkan tak tahu berapa lama yang telah kuhabiskan untuk memandangi pesanmu. Mungkin sebagian diriku tak ragu ingin menghapus namamu dari fitur Starred Messages-ku. Namun, sebagian lainnya tak siap kehilangan namamu  yang telah lama menjadi penghuni tetap Whatsapp-ku.


Hhh, aku menghembuskan nafas pelan. Harum nasi goreng memenuhi ruangan. Pertanda waktu telah menunjukkan pukul sembilan malam.

Divisiku punya kebiasaan unik. Teman-temanku memilih menunda makan malam hingga pukul sembilan. Mereka percaya, seenak apapun makanan yang dipesan akan terasa hambar tatkala deadline pekerjaan menghantui. Biasanya, kami berkumpul di meja panjang sambil mengeluhkan nasib budat korporat yang kerapkali dikejar-kejar tenggat waktu.

Kuletakkan Iphone 11 yang belum genap seminggu menjadi milikku. Perutku berbunyi pelan seolah menanyakan jatah makan malamnya hari ini.

Arghh, sudahlah. Untuk apa menghabiskan waktu memikirkan manusia yang bahkan tak punya keberanian untuk memberikan penjelasan sebelum berpisah. Sia-sia rasanya menyisihkan energi untuk orang yang usianya sembilan tahun lebih tua dariku, tapi kedewasaannya patut dipertanyakan karena tak punya nyali untuk menjelaskan keputusan yang diambilnya terkait hubungan kami. Terlalu sayang rasanya membuang nafasku untuk meminta penjelasan atas pertanyaan yang selalu berputar di benakku.

Lebih baik aku segera menikmati nasi goreng yang masih mengepulkan uap panas itu sambil memikirkan cara untuk mengganti tabunganku yang sudah terkuras oleh benda mungil yang kini tergeletak di mejaku.



With love,
Bells