Rabu, 19 Februari 2020

SIM dan STNK


Pagi Valentine yang kelabu

“Mohon maaf sekali lagi ya, Pak,” aku menatap pria setengah baya yang tengah berjongkok di depan bemper mobil. Sekali lagi ia memastikan bahwa penyok tersebut masih bisa ditanganinya.

Pria setengah baya tersebut tersenyum sambil menatapku prihatin.

“Engga apa-apa, Mbak. Mbak sudah ada yang jemput?”

Perhatianku spontan teralihkan dari bemper mobil yang penyok ke layar smartphone yang tengah kugenggam.

Sial, tak ada notifikasi baru yang mampir ke Whatsapp. Spontan aku berdecak ketus. Kenapa laki-laki itu mengabaikan pesanku sepagian ini? Apa sih hal penting yang sedang dilakukannya sampai ia tega membiarkanku menunggu balasannya sampai berjam-jam? Mengapa ia harus menghilang di saat aku membutuhkannya?

Firasatku mengatakan percuma menunggu kehadirannya untuk menjemputku di tempat les menyetir yang berlokasi hanya selemparan batu dari tempat tinggalku.


Sambil menahan perasaan jengkel yang mulai membuncah, jemariku cekatan menekan tombol-tombol di layar ponsel. Aku tak ingin membuang waktu lebih lama lagi berdiri di depan mobil yang kugunakan untuk latihan menyetir satu jam lalu.

Berada di depan kendaraan tersebut cuman akan mengingatkanku tentang kebodohanku dalam mengemudi. Percayalah, aku juga tidak mengerti kenapa aku dengan bodohnya justru menginjak gas di saat aku seharusnya menekan pedal rem. Kepadatan lalu lintas serta rasa gugup yang kurasakan sanggup mengacaukan sistem kerja otakku.  

Sebelum akhirnya membenturkan mobil latihan mengemudiku ke bagasi mobil Toyota Rush berwarna hitam, aku sudah banyak melakukan kesalahan. Mulai dari salah memberikan lampu sein, gegabah mengambil jalur orang lain pada saat berbelok, hingga kesulitan memperkirakan jarak antara mobil yang kukemudikan dengan kendaraan roda dua yang memenuhi jalanan.

Sebagai orang yang perfeksionis, sulit rasanya memaafkan kecerobohanku. Kalau saja ini sesi latihan pertama, mungkin akan lebih mudah buatku untuk memaafkan tidakmampuanku menyetir. Masalahnya, ini bukan sesi latihanku yang pertama. Bukan pula yang keempat atau kelima. Ini kali ke empat belas aku mengikuti sesi latihan menyetir mobil.

Tahun lalu, aku sempat mengambil paket latihan yang terdiri dari sepuluh kali pertemuan. Karena aku lebih sering menggunakan Transjakarta dan KRL untuk berpergian, sepuluh sesi latihan mengemudi itu terbuang sia-sia.


Bukannya aku malas berlatih menyetir. Pertanyaannya, siapa juga sih yang sanggup duduk berjam-jam meladeni kemacetan Jakarta yang semakin parah dari waktu ke waktu. Sementara pada akhir, bepergian bersama laki-laki yang sudah mengisi hari-hariku selama tiga tahun terakhir membuatku lebih banyak duduk manis di bangku penumpang.

Setelah susah payah bertempur melawan keenggananku sendiri, akhirnya aku memutuskan untuk mengambil paket latihan lagi. Toh aku sudah mencantumkan skill mengemudi sebagai resolusi yang ingin kucapai tahun ini.

Belum lagi tak selamanya aku bisa mengandalkan orang lain untuk mengantarkanku kemana saja. Biarpun ayahku tak pernah keberatan mengantarjemputku, tak enak juga rasanya melihat ia berjibaku di kepadatan lalu lintas Jakarta yang sama sekali tak bersahabat sementara aku cuman berpangku tangan di sampingnya.

Percayalah, kalau suatu saat aku akhirnya berhasil mengemudikan kendaraan beroda empat dengan lancar di jalan raya, aku akan merayakannya dengan rasa syukur yang luar biasa. Memang kedengarannya berlebihan untuk orang-orang yang bahkan dapat menyetir tanpa perlu mengikuti kursus terlebih dahulu.


Namun untukku, berada di balik kemudi setir bukanlah perkara mudah. Jantungku spontan berdegup lebih cepat untuk alasan yang tak kumengerti. Keringat dingin mulai membanjiri telapak tanganku. Kedua tanganku kaku memutar setir mobil sambil sesekali mendorong tuas persneling. Belum lagi rasa gugup yang membuatku kakiku kagok bergantian menginjak kopling, gas, dan rem.

Menyetir juga membuat indera penglihatanku bekerja ekstra keras. Tak cuman menatap ke depan, aku diwajibkan memastikan kondisi lalu lintas di belakang mobil sekaligus mengecek motor yang kerap kali menyelinap melalui kaca spion.

Sial, keberadaan kendaraan roda dua di sekitar mobil yang kukemudikan selalu membuatku gugup. Bagaimana tidak, mereka kerap kali menyelinap tanpa memikirkan jarak aman. Celah sekecil apapun seolah harus dimanfaatkan semaksimal mungkin untuk menyalip kendaraan lainnya.

Seolah kegelisahanku belum sempurna, ketidakmampuanku memperkirakan jarak yang terbentang antara mobilku dengan sekeliling refleks membuatku kebingungan setiap kali aku melalui jalan sempit. Aku bahkan tak bisa memperkirakan sejauh aku harus membanting setir setiap kali melalui tikungan kecil.

“Mbak Vivi ya?” seorang tukang gojek menghampiriku.

Aku menganggukan kepala. Tanpa banyak komentar, aku mengenakan helm yang disodorkannya. Rasa pegal di kakiku lenyap seketika tatkala aku menghempaskan tubuhku ke jok Honda PCX yang luas dan nyaman.

“Pak Heri, aku duluan ya. Sori ya merepotkan terus,” aku tersenyum tulus pada guru les menyetirku, yang mungkin sedang berangan-angan untuk mendepakku dari daftar muridnya.

“Hati-hati, Mbak Vivi,” Ahh, bahkan pria itu masih tulus membalas kalimatku. Sungguh rasa bersalahku langsung berlipat ganda.


14.00

Ngomong-ngomong soal hari Valentine, sebenarnya aku punya firasat buruk ketika akhirnya aku memutuskan untuk pergi les menyetir hari ini. Wong pada hari biasa saja, les menyetir selalu mampu menjungkirbalikkan mood-ku. Apalagi di hari spesial semacam Valentine ini

Harusnya aku sadar betul, pergi les menyetir di hari Valentine bukanlah pilihan yang tepat. Masalahnya, aku tak punya opsi lain. Weekend ini aku harus menghadiri event launching produk yang sudah puluhan kali kuulangi. Maka ketika akhirnya aku mengambil cuti di hari Jumat yang mendung ini, tanpa pikir panjang, aku mendaftarkan diri untuk satu sesi latihan di pagi hari.

Toh aku juga tak punya rencana spesial untuk mengisi hari Valentine.

Laki-laki yang biasanya mengajakku dinner di malam Valentine sedang sibuk bekerja di kantor. Bahkan saking sibuknya, ia bahkan tidak dapat meluangkan semenit pun untuk membalas pesanku tadi pagi.

Sebenarnya aku maklum. Aku hafal betul kebiasaannya. Jika aku tak punya skill mengemudi yang baik, laki-laki yang pernah menyatakan cintanya padaku tiga tahun silam itu tak punya skill multitasking yang mumpuni.


Dahinya akan berkerut serius ketika menyelesaikan pekerjaan yang membutuhkan banyak konsentrasi. Bibirnya terkunci rapat, mengabaikan obrolan teman-teman sekantornya. Ekspresi wajahnya dengan akurat menggambarkan keinginannya untuk tidak diganggu. Seolah dunia di sekelilingnya menjadi kabur. Hanya ada dirinya dan pekerjaan yang sedang ditekuninya.

18.45

Vii, sori! Ada yang urgent seharian ini. Aku otw ke sana ya.

Aku melengos menatap pesan Whatsapp-nya. Setelah 18 jam mengabaikanku di hari Valentine, dengan mudahnya ia mengirimkan pesan sesingkat itu untuk membayar kesalahannya.

Hanya butuh waktu lima detik untuk membalas pesannya dengan satu kata, terserah.

Sial, mood-ku belum juga membaik. Tidur siang yang lelap tak mampu menguapkan rasa kesalku. Menangis selama satu jam karena merasa tak berguna juga tak segera menghilangkan perasaan bersalahku.


Menghabiskan waktu dengan menyendiri di kamar banyak memberiku ruang untuk berpikir. Sempat terbersit di pikiranku bahwa mungkin aku tidak ditakdirkan untuk menyetir dengan mandiri. Jangan-jangan aku selamanya akan berlarian di antara kepadatan stasiun KRL dan halte Transjakarta.

Entahlah, tiba-tiba aku mempertanyakan diriku sendiri. Sampai kapan sih aku akan merepotkan orang lain untuk mengantarjemputku? Kapan sih aku bisa mandiri berpergian dengan mengemudikan mobilku sendiri? Apakah selamanya aku akan kesulitan mencari tumpangan saat aku harus menghadiri event hingga larut malam?

Lalu bagaimana pula nasib Honda Brio merah yang sedang kucicil selama setahun terakhir ini? Apakah kendaraan beroda empat itu selamanya akan mendekam di garasi mobil? Lalu sesekali digunakan oleh adikku untuk menjemput pacarnya?

Sial, bahkan adikku yang berusia empat tahun lebih muda dariku sudah mahir mengemudikan kendaraan beroda empat. Hhh.

20.05
“Kamu udah makan?”

Aku menatapnya yang sedang melepas sepatu pantofel, menggulung lengan kemeja biru favoritnya, untuk kemudian menghempaskan diri di sofa yang empuk.


Untuk sesaat, hanya gemuruh hujan yang mengisi keheningan di ruang tamu rumahku. Ia sibuk membuka kantong plastik berisi bungkusan makanan.

“Sori ga ngajak dinner kemana-mana di hari Valentine ini. Meeting-nya sampe malem banget tadi.”

Ia menyodorkan sekotak nasi goreng Bakmi GM kesukaanku. Lalu meletakkan sekotak nasi capcay yang selalu menjadi pilihannya di meja coklat ruang tamu.

“Kenapa? Bete karena aku menghilang seharian? Atau karena ayah-ibumu pergi sementara kamu harus di rumah sendiri?” Ia menghembuskan napas panjang, seolah dengan begitu, ia dapat melepaskan semua rasa lelahnya.

“Engga. Biasa aja.” Aku mulai membuka kotak pembungkus bernuansa kuning cerah. Harum khas nasi goreng kesukaanku menyeruak memenuhi ruangan.

“Kalo ngomongnya ‘biasa aja’ artinya ga biasa ya?” Ia tersenyum jenaka, setengah meledekku sambil menepuk-nepuk pundakku.

“Loh, kok nangis?” Spontan ia menarik tanganku yang sedang menyuap nasi goreng. Sejujurnya, aku sudah lapar setengah mati karena aku tak menyantap makanan sama sekali seharian ini. Sebelum les menyetir, perutku tak merasa lapar sama sekali karena membayangkan satu jam berapa di balik kemudi setir. Usai les menyetir, otakku bahkan terlalu lelah untuk mencerna apapun.

“Kenapa?” Laki-laki itu kemudian memilih diam dan duduk di sampingku. Ia tahu, percuma saja memaksaku bicara di saat yang paling kubutuhkan hanyalah diam.


Setelah sepuluh menit membiarkanku tenggelam dalam isakan, ia masih mengelus-elus pundakku pelan. Kalau aku berada di posisinya, pasti aku sudah tak sabar bertanya “kenapa” untuk kedua kalinya.   

Ia cuman diam memandangiku dengan heran.

Walaupun aku jengkel setengah mati karena ia sempat menghilang dari peredaran, toh aku tak punya pilihan lain selain bercerita kepadanya.

Sambil berusaha menahan air mata yang memenuhi pelupuk indera penglihatanku, mengalirlah kejadian tadi pagi dari mulutku.

“Apa aku emang ditakdirkan untuk ga bisa menyetir? Kamu tau kan sudah berapa kali aku ikut kursus menyetir?” ucapku sambil terisak.

Ia menarik napas pelan. Memandangku yang masih menangis seperti anak kecil yang kehilangan coklat kesukaannya.

“Apa selamanya aku ga akan punya SIM? Ya udah, cuman buang-buang uang untuk kursus. Terus lupa lagi caranya nyetir. Kayaknya aku ga akan pernah punya SIM,” sambungku dengan frustasi.

Selama beberapa menit, ia hanya terdiam, seolah memberiku jeda untuk menenangkan diriku sendiri.

“Udah nangisnya?” Cuman dua kata itu yang terucap dari bibirnya.

Aku tersenyum tipis dengan responnya. Gemas rasanya cerita panjangku cuman direspon sesingkat dua kata.

Percayalah, tak mudah buatku untuk menangis di depan orang lain. Entahlah, kadang aku merasa menangis itu erat kaitannya dengan kata lemah atau minta dikasihani. Sebagai manusia yang seringkali mengutamakan gengsi, tentu aku tak ingin minta dikasihani oleh siapapun.

Sialnya, air mataku mudah sekali menetes di depan laki-laki yang selalu menjadi tumpuanku berbagi. Bahkan aku tak pernah merasa gengsi menitikkan air mata di hadapan laki-laki yang telah menjadi tempatku bersandar selama tiga tahun terakhir.


Bullshit kalo aku bilang, ‘ya udah ga apa-apa. Suatu saat kamu pasti bisa nyetir kok’. Kamu juga tahu kalo itu omong kosong.”

Aku menatapnya dengan pandangan kosong. Mungkin keinginanku memiliki SIM hanya akan menjadi angan belaka.

“Skarang udah puas belum nangisnya? Kalo udah, makan dulu nasi gorengnya. Kamu galak kalo lagi laper,” Ia menyodorkan bungkusan nasi goreng ke hadapanku.

Setelah memastikan tangisanku sudah usai, ia melanjutkan “Jangan jadiin tabrakan tadi sebagai tolak ukur kemampuanmu menyetir. Tabrakan tadi tuh ga berarti kamu ga akan bisa menyetir selamanya. Kalo soal udah ngeles berkali-kali, tapi masih belum lancar nyetir, ya udah, gimana lagi. Yang penting kamu sudah berusaha kan? Kamu tetap pergi les menyetir. Aku bisa bayangin betapa sulitnya buat kamu untuk pergi ke tempat les nyetir. Makanya, ga usah sedih kalo belum bisa nyetir. Semua ada waktunya, Vi.”

Aku memandangnya perlahan. Mencoba memahami makna setiap kalimat yang diucapkannya.
“Itu kalau soal belajar nyetir ya. Tapi kalau kamu kepengen banget punya SIM sekarang juga, ga usah khawatir, Vi.”

“Maksudnya?” Aku menuntut penjelasannya. Kalau ia menyuruhku untuk mendapatkan SIM dengan cara yang tidak jujur, lebih baik ia tak usah datang sekalian di hari Valentine ini. Parahnya, berarti ia tidak benar-benar mengenalku. Seharusnya ia tahu betul aku ingin memperoleh SIM itu dengan cara yang sewajarnya.

Belum sempat aku mencecarnya lebih jauh, ia menyodorkan dua buah kartu yang terbuat dari karton ke tanganku.


“Selamat hari Valentine, Beb. Aku tau kamu akhir-akhir ini stress karena masalah ga bisa nyetir. Ini aku kasih SIM dan STNK sementara ya. Kamu belajar nyetir yang bener ya supaya dapat SIM beneran. Untuk dinner-nya, nyusul ya sehabis projekku kelar dan ga ribet lembur lagi. Oke?” Ia mengecup keningku pelan.

Aku memandangi dua kartu yang diukir dengan tulisan tangannya yang begitu khas. Entah darimana idenya ia menuliskan SIM sebagai singkatan dari Surat Ijin Mencintai dan STNK sebagai kepanjangan dari Surat Tanda Naksir Kamu.

Sebuah perasaan hangat memenuhi hati tatkala melihat usahanya. Aku yakin, tak mudah baginya untuk membuat kreativitas semacam ini.

“Sori ya seharian ini aku menghilang. Seharian ini meeting-ku padat banget. Terus pas jam istirahat, aku buru-buru ke Gramedia untuk beli karton ini. Kamu tau kan aku paling ga bisa mengerjakan keterampilan tangan semacam ini?” Ia tertawa kecil melihat hasil kerjanya yang kini sudah berpindah ke tanganku.


Air mataku kembali menetes dengan alasan yang berbeda. Ia selalu ada di sini. Ia hadir dalam setiap cerita yang kutulis. Ia selalu mengupayakanku dalam kesibukannya dan ketidakmampuannya dalam ber-multitasking. Ia membantuku mengepakkan sayap lebih jauh melalui eksistensinya. Ia menopangku di saat aku sendiri tak mampu berdiri tegak di atas kakiku sendiri

“Terima kasih, Eci. Makasih udah selalu ada di sini,” aku memeluknya erat, memastikan bahwa ia adalah bagian hidup yang tak akan pernah kulepaskan.






Notes :
Hai, guys! First of all, HAPPY VALENTINE 😊 Sebenernya sempet galau mau kasih happy ending atau sad ending untuk cerita ini. Tapi berhubung ini masih nuansa Valentine, aku memutuskan untuk mengakhiri cerita ini dengan happy ending 😊 Mumpung masih nuansa Valentine, yuk, jangan lupa menunjukkan kasih sayang ke orang-orang yang kita kasihi karena kasih tanpa perbuatan itu adalah suatu hoax semata #aseeek #edisiBellabijak . Anyway, kabar menghebohkan soal kematian Ashraf Sinclair tentunya memberikanku pelajaran untuk ga gengsian dalam menunjukkan kasih sayang itu sendiri. Karena kita ga pernah tahu kapan terakhir kali orang itu berada dalam genggaman kita. Have a lovely Valentine everyone 😊






With love,
Bells

Sabtu, 08 Februari 2020

Bandara

16.30

“Di luar masih hujan?”

Aku menganggukan kepala sebagai respon atas pertanyaan tersebut.

Melihat responku, spontan teman semejaku menggurutu pendek, mengeluhkan cuaca mendung yang menyelimuti langit Jakarta semenjak pagi.

Tak hanya mendung, hujan rintik setia mengguyur kota beton ini di Jumat pagi. Seolah ingin meredupkan suasana “Thanks God It’s Friday” yang selalu ditandai dengan macetnya mobil yang berjibaku di jalanan, pengapnya polusi udara yang mengganggu pejalan kaki, dan ramainya pusat perbelanjaan yang dipenuhi manusia yang berlomba untuk memenuhi kebutuhannya atau sekadar bersosialisasi menjelang akhir pekan.

Jam dinding di sudut ruang kantor terus berdetak. Mengabaikan keresahan penghuni kantor akan sulitnya menembus hujan sepulang kerja. Belum lagi kemacetan yang semakin menjadi akibat derai hujan.

Dengan resah, aku memasukkan laptop ke dalam tas. Bergegas kurapikan berkas yang berserakan di meja kerjaku. Tak kupedulikan lagi berbagai email yang kerap kali membuatku terpaksa membuka laptop di akhir pekan. Toh kebanyakan aku tak punya rencana khusus di akhir pekan, kecuali ia datang mengunjungiku seperti hari ini.

Lima belas menit berlalu tanpa hasil yang berarti. Tak satupun taksi online yang sudi mengantarku dari jalanan Sudirman yang macet menuju bandara.

Sial, apakah ini artinya aku harus menyetop taksi di pinggir jalan?

Aku membuka aplikasi chatting berwarna hijau. Memastikan bahwa status pesan terakhir yang kukirim belum berubah menjadi centang dua. Syukurlah, pasti ia belum mendarat di bandara Soekarno Hatta. Semoga saja aku tiba di bandara sebelum ia menjejakkan kaki keluar dari pesawat.

17.30

Tentu saja masalahku tak berhenti sampai di situ. Usai nekat menyetop taksi biru yang melintas di depan kantor, kemacetan yang entah dimana ujungnya sudah membentang di hadapanku.

Berbekal sekotak tisu, aku mulai mengeringkan bajuku yang dipenuhi butiran air hujan. Kusisir rambutku yang mulai lepek akibat berjam-jam berjibaku dengan berbagai laporan khas akhir bulan.

Kuakui, aku bukan orang yang fleksibel sama sekali. Hujan deras dan kemacetan yang menggila mampu membangkitkan keresahanku. Perubahan rencana yang mendadak bukan hal yang mampu kutangani. Aku menyukai segala sesuatu yang teratur, terencana, dan berjalan sesuai dengan apa yang sudah kuurutkan sedemikian rupa.


Tetes air hujan terus menampar kaca bening taksi biru yang kutumpangi. Lampu kendaraan berbaris-baris memenuhi jalanan.

Sial, tak ada yang bisa kulakukan di tengah kemacetan ini selain memandangi layar smartphone-ku dan melamun sambil menatap ke luar jendela.

Omong-omong soal bandara, aku selalu menyukai tempat itu dengan segala kepelikannya. Mengamati manusia-manusia berkoper yang berlari mengejar waktu adalah kesenangan tersendiri bagiku. Kesibukan di loket tiket, orang-orang yang tergesa-gesa berlalu lalang, suara mesin pesawat yang sesekali memenuhi udara, dan hiruk pikuk khasnya yang selalu membuatku terpesona.



Bagian favoritku? Tentu saja menyaksikan momen ketika manusia memiliki tujuannya masing-masing yang tercetak jelas dalam selembar tiket. Ya, tujuan kemana ia akan melangkah selanjutnya. Tujuan yang menjadi kompas penunjuk arah kemana ia harus mengarahkan layarnya. Tujuan yang selalu memberi alasan seseorang untuk terus bertahan. Tujuan yang sanggup menggerakkan seseorang untuk tetap berjalan walau beribu alasan terhampar di hadapannya.

Tujuan yang membuat manusia memiliki alasan untuk tetap hidup di antara ketidakpastian yang seringkali membuat ragu.

Begitu juga tujuanku ke bandara di malam Sabtu yang sama sekali tak bersahabat ini. Apalagi tujuannya kalau bukan menemui laki-laki yang raganya berjarak ratusan kilometer dariku, tapi hadirnya selalu meredamkan semua kebingunganku di masa quarter life crisis ini. Sosok yang mampu membuatku berhenti menoleh ke belakang dan tegak mengarah ke depan.

Hhh, aku menghembuskan napas pelan, yang segera membingkai menjadi embun.

Mungkin pertemuan mendadak ini juga tentang sebuah tujuan. Tujuanku di umurku yang resmi menginjak masa quarter life crisis pada November kemarin. Tujuannya yang selalu gamang berada di antara ambisi pribadinya dan kebersamaan kami yang tak terbilang mudah. Tujuan kami dalam hubungan yang seringkali oleng karena ketidakdewasaanku dan pemikirannya yang berada jauh dari jangkauanku.

19.25

“Terima kasih, Pak. Lebihnya ambil saja ya”

Kalimat itu seolah menjadi penutup kebersamaanku dengan supir taksi yang bergegas melaju cepat sekaligus menjadi awal kisahku di bandara pada sore yang mendung ini.

Pandanganku bergegas mencari sosok yang kerap kali menjadi tujuanku ketika menginjakkan kaki di bandara. Ramainya penumpang yang berlalu lalang membuatku kesulitan untuk segera menemukannya dalam keramaian. Belum lagi berbagai pengumuman yang berkumandang melalui loud speaker membuatku semakin gugup.

Tepukan pelan seseorang di pundakku refleks membuatku menoleh ke belakang.

Ia berdiri di sana. Ia yang selalu berhasil menemukanku terlebih dahulu, tak peduli seberapa sulitnya situasi.

Mengenakan kemeja coklat muda dan celana hitam, ia bergegas menggandeng lenganku. Seulas senyum tulus terukir di bibirku. Ia ada di sini, berdiri di sampingku.


“Mau pesan taksi sekarang?” aku mulai sibuk membuka aplikasi di ponselku.

“Kalau kita ngobrol dulu di kafe itu gimana?” Ia menunjuk sebuah kafe berinterior cantik di sudut bandara.

Aku memandangi wajahnya, mencoba mencari tahu apa yang disembunyikan sosok yang telah mengisi hari demi hariku selama empat tahun terakhir.

Pertemuan yang mendadak, senyumnya yang terasa asing, dan ajakannya untuk duduk sejenak di bandara memaksa otakku untuk berpikir keras.

Jantungku spontan berdegup cepat ketika menyadari tangannya bebas menggandeng lenganku karena tak ada koper yang biasanya membebani langkahnya. Ada apa sebenarnya dengannya? Atau mungkin pertanyaan yang lebih tepat ialah, ada apa sebenarnya dengan kami?

19.35


Hiruk pikuk suasana kafe sungguh berbanding terbalik dengan kebisuan yang membentang di antara kami.

Usai memesankan segelas americano untuknya dan caramel macchiato untukku, ia berdeham pelan. Lalu menggaruk kepalanya, gerakan khasnya yang mengindikasikan bahwa ada sesuatu yang penting yang ingin dibicarakannya.

“Tadi macet?”

Aku tersenyum  kecil. Pertanyaan basa-basinya yang membuatku semakin gugup.

“Ada apa?” Sial, akhirnya dua kata itu meluncur juga dari bibirku. Dua kata yang sejak tadi sudah tertahan di ujung lidah. Dua kata yang membentuk sebuah pertanyaan sederhana, namun sanggup memancing cerita pelik yang mungkin sudah lama menanti untuk diceritakan.


Pelayan yang mengantar gelas-gelas kopi memecah kebisuannya, seolah memberinya sedikit jeda untuk berpikir sebelum menjawab pertanyaanku.

Aku menyeruput kopiku pelan. Caramel macchiato kesukaanku tiba-tiba terasa hambar di indera pengecapanku.

Kesunyian yang tercipta di antara kami seolah menjawab semua pertanyaan yang menghantui benakku beberapa bulan terakhir ini.

Pertanyaanku tentang jawabannya yang terasa singkat di Whatsapp. Tentang teleponnya yang tak lagi seintens dulu. Tentang nada suaranya yang tak lagi sesumringah dulu tatkala aku bercerita. Tentang cerita sehari-harinya yang tak pernah lagi dibaginya denganku. Dan juga tentang betapa hambar respon yang diberikannya ketika kata rindu itu terucap dari bibirku, sesuatu yang ia tahu selalu sulit kuucapkan karena gengsiku (yang disebutnya) setinggi langit.

Rasanya ia tak perlu membuka bibirnya lagi untuk menjelaskan apa yang berubah di antara kami. Hal-hal yang berubah tanpa kusadari, atau mungkin aku sebenarnya menyadarinya, tapi terlalu takut untuk menanyakannya.

“Aku rasa ...” Ia memberi jeda yang cukup untuk membuatku sadar bahwa ia sedang berupaya mencari kata yang tepat untuk mendeskripsikan hubungan kami.

“sepertinya hubungan kita ga bisa dilanjutkan lagi.” Ia menyelesaikan kalimat yang telah dimulainya, sekaligus menyelesaikan segala alasan yang membuat kami bertahan dalam hubungan jarak jauh ini.
Aku memandang wajahnya yang tengah menatap lurus ke arahku. Wajahnya yang menunggu jawaban dariku.

“Oke.” Hanya sepatah kata itu yang sanggup terucap dari bibirku.

Ia masih menatap lurus ke sudut mataku, mencoba menerka apa yang tengah berkecamuk di pikiranku. Mencoba memahami mengapa aku tak bertanya sedikitpun mengenai alasan berakhirnya hubungan kami.

“Kenapa?” Gantian ia yang hanya mengucapkan sepatah kata.

Sesungguhnya aku tak perlu bertanya mengenai makna tanya “kenapa” yang disodorkannya kepadaku. Egonya jelas terluka dengan respon singkatku yang tak sedikitpun mempertanyakan alasan di balik keputusan yang diambilnya tanpa melibatkanku di dalamnya. Sorot matanya nampak kecewa, mungkin ia pikir aku akan menghujaninya dengan berbagai tanya.

“Ga apa-apa,” ujarku sembari menahan air mata yang mulai menumpuk di sudut mataku.


Ia masih memandangku dengan sorot mata terluka. Jawabanku tadi seolah membuat hubungan kami selama ini tak ada harganya sama sekali. Tatapannya menghujam ke arahku, menyuarakan protes akan respon yang mungkin tak diduganya sama sekali.

Aku menarik napas panjang, berusaha mengumpulkan sisa-sisa tenaga yang masih tersisa usai berjibaku dengan pekerjaan kantor dan jalanan macet yang meresahkanku sepanjang Jumat sore yang kelabu ini.

“Kenapa?” Ia masih menuntut jawabanku.

Karena kita ga pernah bisa menahan seseorang yang ingin melangkah keluar dari hidup kita. Bukan cuman karena setiap orang berhak menentukan kemana ia ingin berjalan, tapi menahan seseorang untuk pergi adalah suatu kesia-siaan yang tak ingin kulakukan. Percuma, mungkin aku bisa menahan kepergianmu saat ini dengan air mata yang sedang mati-matian kutahan. Karena toh aku tahu betul kamu paling tidak bisa melihatku menangis. Namun, sekembalinya kamu ke kotamu, yang tersisa hanyalah aku dan perasaan resah yang mungkin akan selalu menghantuiku karena takut kehilanganmu sekali lagi. Perasaan tak nyaman yang akan selalu timbul ketika menyadari perubahan sikapmu yang perlahan tapi pasti. Rasa takut bersaing dengan alasan kepergianmu hari ini, alasan yang sudah lama memasuki kehidupanmu tanpa bisa kucegah karena ragaku yang berjarak ratusan kilometer darimu.

Andai bibirku mampu mendialogkan kalimat yang sudah tersusun rapi dalam benakku, tentu ia akan berhenti memandangiku dengan perasaan terluka.

Sayangnya, aku hanya mampu memandanginya. Berusaha menyimpan segala kenangan tentangnya. Tentang sosoknya yang telah lama menjadi kekuatanku untuk bertumpu. Tentang sosoknya yang menjadi tujuanku untuk berlabuh di akhir hari yang panjang dan melelahkan.


Lima belas menit berlalu begitu saja. Tak satupun dari kami sanggup memecah keheningan. Hanya bising bandara yang mengisi jarak di antara kami. Hingga panggilan bagi penumpang tujuan Surabaya memenuhi udara.

Ia memandangku sekali lagi, memastikan bahwa sosok perempuan di hadapannya tak punya sedikitpun niat untuk menghalangi kepergiaannya.

“Kamu sering bilang ke aku, kamu ga akan pernah mencoba menahan kepergian siapapun dalam hidupmu. Aku sempet mikir kalo aku ga termasuk dalam kategori ‘siapapun’. Tapi ternyata aku salah. Terima kasih sudah menjadi alasanku untuk bertahan selama ini. Terima kasih telah menjadi tujuanku selama beberapa tahun ini.”

Ia bangkit berdiri, mengecup keningku pelan. Lalu berjalan kembali ke dalam bandara usai membayar dua cangkir kopi yang masih termangu di atas meja. Meninggalkanku dan buliran air mata yang perlahan membasahi pipiku.

Sial, bahkan di saat menyedihkan semacam ini, air mataku masih terlalu gengsi untuk muncul di hadapannya.

22.15


Aku menghabiskan beberapa jam di bangku kafe sebelum akhirnya memutuskan untuk berjalan pulang.

Sekali lagi, aku mengedarkan pandanganku, menjelajah sudut bandara. Tempat bersejarah yang menyimpan semua rinduku untuknya. Tempat hiruk pikuk dimana sunyi seringkali menyeruak tatkala aku memandangi kepergiannya usai menemuiku selama 2 x 24 jam. Tempat dimana manusia selalu memiliki tujuan yang tercetak dalam bentuk selembar tiket, sama seperti sosoknya yang pernah menjadi tujuanku dalam suatu masa kehidupan.










Note :
Hai, pembaca budiman yang baik hati, tidak sombong, dan rajin menabung. Hehehehe. Hayo, siapa yang suka ninggalin komen berupa “ini pengalaman pribadimu ya, Bellsss?”. Hmm, gengs, percayalah, aku ga pernah punya kisah sedramatis ini. Hiks. Ini hanyalah karangan belaka yang dibumbui oleh imajinasi yang muncul pas aku lagi bengong-bengong-santuy di atas gojek selama 45 menit atau berimajinasi di gerbong kereta selama 30 menit setiap menempuh perjalanan Bintaro-Sunter ataupun sebaliknya.

Anyway, thank you for reading this blog. It really really means a lot to me.  ðŸ˜Š





With love,
Bells