Pagi Valentine yang kelabu
“Mohon maaf sekali lagi ya, Pak,”
aku menatap pria setengah baya yang tengah berjongkok di depan bemper mobil. Sekali
lagi ia memastikan bahwa penyok tersebut masih bisa ditanganinya.
Pria setengah baya tersebut
tersenyum sambil menatapku prihatin.
“Engga apa-apa, Mbak. Mbak sudah
ada yang jemput?”
Perhatianku spontan teralihkan
dari bemper mobil yang penyok ke layar smartphone yang tengah kugenggam.
Sial, tak ada notifikasi baru
yang mampir ke Whatsapp. Spontan aku berdecak ketus. Kenapa laki-laki itu
mengabaikan pesanku sepagian ini? Apa sih hal penting yang sedang dilakukannya
sampai ia tega membiarkanku menunggu balasannya sampai berjam-jam? Mengapa ia
harus menghilang di saat aku membutuhkannya?
Firasatku mengatakan percuma
menunggu kehadirannya untuk menjemputku di tempat les menyetir yang berlokasi
hanya selemparan batu dari tempat tinggalku.
Sambil menahan perasaan jengkel
yang mulai membuncah, jemariku cekatan menekan tombol-tombol di layar ponsel.
Aku tak ingin membuang waktu lebih lama lagi berdiri di depan mobil yang
kugunakan untuk latihan menyetir satu jam lalu.
Berada di depan kendaraan tersebut
cuman akan mengingatkanku tentang kebodohanku dalam mengemudi. Percayalah, aku
juga tidak mengerti kenapa aku dengan bodohnya justru menginjak gas di
saat aku seharusnya menekan pedal rem. Kepadatan lalu lintas serta rasa gugup
yang kurasakan sanggup mengacaukan sistem kerja otakku.
Sebelum akhirnya membenturkan
mobil latihan mengemudiku ke bagasi mobil Toyota Rush berwarna hitam, aku sudah
banyak melakukan kesalahan. Mulai dari salah memberikan lampu sein, gegabah mengambil
jalur orang lain pada saat berbelok, hingga kesulitan memperkirakan jarak
antara mobil yang kukemudikan dengan kendaraan roda dua yang memenuhi jalanan.
Sebagai orang yang perfeksionis,
sulit rasanya memaafkan kecerobohanku. Kalau saja ini sesi latihan pertama,
mungkin akan lebih mudah buatku untuk memaafkan tidakmampuanku menyetir. Masalahnya,
ini bukan sesi latihanku yang pertama. Bukan pula yang keempat atau kelima. Ini
kali ke empat belas aku mengikuti sesi latihan menyetir mobil.
Tahun lalu, aku sempat mengambil
paket latihan yang terdiri dari sepuluh kali pertemuan. Karena aku lebih sering
menggunakan Transjakarta dan KRL untuk berpergian, sepuluh sesi latihan
mengemudi itu terbuang sia-sia.
Bukannya aku malas berlatih
menyetir. Pertanyaannya, siapa juga sih yang sanggup duduk berjam-jam meladeni
kemacetan Jakarta yang semakin parah dari waktu ke waktu. Sementara pada akhir,
bepergian bersama laki-laki yang sudah mengisi hari-hariku selama tiga tahun
terakhir membuatku lebih banyak duduk manis di bangku penumpang.
Setelah susah payah bertempur
melawan keenggananku sendiri, akhirnya aku memutuskan untuk mengambil paket
latihan lagi. Toh aku sudah mencantumkan skill mengemudi sebagai
resolusi yang ingin kucapai tahun ini.
Belum lagi tak selamanya aku bisa
mengandalkan orang lain untuk mengantarkanku kemana saja. Biarpun ayahku tak
pernah keberatan mengantarjemputku, tak enak juga rasanya melihat ia berjibaku
di kepadatan lalu lintas Jakarta yang sama sekali tak bersahabat sementara aku
cuman berpangku tangan di sampingnya.
Percayalah, kalau suatu saat aku
akhirnya berhasil mengemudikan kendaraan beroda empat dengan lancar di jalan
raya, aku akan merayakannya dengan rasa syukur yang luar biasa. Memang
kedengarannya berlebihan untuk orang-orang yang bahkan dapat menyetir tanpa
perlu mengikuti kursus terlebih dahulu.
Namun untukku, berada di balik
kemudi setir bukanlah perkara mudah. Jantungku spontan berdegup lebih cepat
untuk alasan yang tak kumengerti. Keringat dingin mulai membanjiri telapak
tanganku. Kedua tanganku kaku memutar setir mobil sambil sesekali mendorong
tuas persneling. Belum lagi rasa gugup yang membuatku kakiku kagok bergantian
menginjak kopling, gas, dan rem.
Menyetir juga membuat indera
penglihatanku bekerja ekstra keras. Tak cuman menatap ke depan, aku diwajibkan
memastikan kondisi lalu lintas di belakang mobil sekaligus mengecek motor yang
kerap kali menyelinap melalui kaca spion.
Sial, keberadaan kendaraan roda
dua di sekitar mobil yang kukemudikan selalu membuatku gugup. Bagaimana tidak,
mereka kerap kali menyelinap tanpa memikirkan jarak aman. Celah sekecil apapun seolah
harus dimanfaatkan semaksimal mungkin untuk menyalip kendaraan lainnya.
Seolah kegelisahanku belum
sempurna, ketidakmampuanku memperkirakan jarak yang terbentang antara mobilku
dengan sekeliling refleks membuatku kebingungan setiap kali aku melalui jalan
sempit. Aku bahkan tak bisa memperkirakan sejauh aku harus membanting setir
setiap kali melalui tikungan kecil.
“Mbak Vivi ya?” seorang tukang
gojek menghampiriku.
Aku menganggukan kepala. Tanpa
banyak komentar, aku mengenakan helm yang disodorkannya. Rasa pegal di kakiku
lenyap seketika tatkala aku menghempaskan tubuhku ke jok Honda PCX yang luas
dan nyaman.
“Pak Heri, aku duluan ya. Sori ya
merepotkan terus,” aku tersenyum tulus pada guru les menyetirku, yang mungkin
sedang berangan-angan untuk mendepakku dari daftar muridnya.
“Hati-hati, Mbak Vivi,” Ahh,
bahkan pria itu masih tulus membalas kalimatku. Sungguh rasa bersalahku
langsung berlipat ganda.
14.00
Ngomong-ngomong soal hari
Valentine, sebenarnya aku punya firasat buruk ketika akhirnya aku memutuskan
untuk pergi les menyetir hari ini. Wong pada hari biasa saja, les menyetir
selalu mampu menjungkirbalikkan mood-ku. Apalagi di hari spesial semacam
Valentine ini
Harusnya aku sadar betul, pergi
les menyetir di hari Valentine bukanlah pilihan yang tepat. Masalahnya, aku tak
punya opsi lain. Weekend ini aku harus menghadiri event launching
produk yang sudah puluhan kali kuulangi. Maka ketika akhirnya aku
mengambil cuti di hari Jumat yang mendung ini, tanpa pikir panjang, aku
mendaftarkan diri untuk satu sesi latihan di pagi hari.
Toh aku juga tak punya rencana
spesial untuk mengisi hari Valentine.
Laki-laki yang biasanya mengajakku
dinner di malam Valentine sedang sibuk bekerja di kantor. Bahkan saking
sibuknya, ia bahkan tidak dapat meluangkan semenit pun untuk membalas pesanku
tadi pagi.
Sebenarnya aku maklum. Aku hafal
betul kebiasaannya. Jika aku tak punya skill mengemudi yang baik,
laki-laki yang pernah menyatakan cintanya padaku tiga tahun silam itu tak punya
skill multitasking yang mumpuni.
Dahinya akan berkerut serius
ketika menyelesaikan pekerjaan yang membutuhkan banyak konsentrasi. Bibirnya
terkunci rapat, mengabaikan obrolan teman-teman sekantornya. Ekspresi wajahnya
dengan akurat menggambarkan keinginannya untuk tidak diganggu. Seolah dunia di
sekelilingnya menjadi kabur. Hanya ada dirinya dan pekerjaan yang sedang
ditekuninya.
18.45
Vii, sori! Ada yang urgent seharian ini. Aku otw ke sana ya.
Aku melengos menatap pesan
Whatsapp-nya. Setelah 18 jam mengabaikanku di hari Valentine, dengan mudahnya
ia mengirimkan pesan sesingkat itu untuk membayar kesalahannya.
Hanya butuh waktu lima detik
untuk membalas pesannya dengan satu kata, terserah.
Sial, mood-ku belum juga
membaik. Tidur siang yang lelap tak mampu menguapkan rasa kesalku. Menangis
selama satu jam karena merasa tak berguna juga tak segera menghilangkan
perasaan bersalahku.
Menghabiskan waktu dengan
menyendiri di kamar banyak memberiku ruang untuk berpikir. Sempat terbersit di
pikiranku bahwa mungkin aku tidak ditakdirkan untuk menyetir dengan mandiri.
Jangan-jangan aku selamanya akan berlarian di antara kepadatan stasiun KRL dan
halte Transjakarta.
Entahlah, tiba-tiba aku
mempertanyakan diriku sendiri. Sampai kapan sih aku akan merepotkan orang lain
untuk mengantarjemputku? Kapan sih aku bisa mandiri berpergian dengan
mengemudikan mobilku sendiri? Apakah selamanya aku akan kesulitan mencari
tumpangan saat aku harus menghadiri event hingga larut malam?
Lalu bagaimana pula nasib Honda
Brio merah yang sedang kucicil selama setahun terakhir ini? Apakah kendaraan
beroda empat itu selamanya akan mendekam di garasi mobil? Lalu sesekali
digunakan oleh adikku untuk menjemput pacarnya?
Sial, bahkan adikku yang berusia empat
tahun lebih muda dariku sudah mahir mengemudikan kendaraan beroda empat. Hhh.
20.05
“Kamu udah makan?”
Aku menatapnya yang sedang
melepas sepatu pantofel, menggulung lengan kemeja biru favoritnya, untuk kemudian
menghempaskan diri di sofa yang empuk.
Untuk sesaat, hanya gemuruh hujan
yang mengisi keheningan di ruang tamu rumahku. Ia sibuk membuka kantong plastik
berisi bungkusan makanan.
“Sori ga ngajak dinner
kemana-mana di hari Valentine ini. Meeting-nya sampe malem banget tadi.”
Ia menyodorkan sekotak nasi
goreng Bakmi GM kesukaanku. Lalu meletakkan sekotak nasi capcay yang selalu
menjadi pilihannya di meja coklat ruang tamu.
“Kenapa? Bete karena aku
menghilang seharian? Atau karena ayah-ibumu pergi sementara kamu harus di rumah
sendiri?” Ia menghembuskan napas panjang, seolah dengan begitu, ia dapat
melepaskan semua rasa lelahnya.
“Engga. Biasa aja.” Aku mulai
membuka kotak pembungkus bernuansa kuning cerah. Harum khas nasi goreng
kesukaanku menyeruak memenuhi ruangan.
“Kalo ngomongnya ‘biasa aja’
artinya ga biasa ya?” Ia tersenyum jenaka, setengah meledekku sambil
menepuk-nepuk pundakku.
“Loh, kok nangis?” Spontan ia
menarik tanganku yang sedang menyuap nasi goreng. Sejujurnya, aku sudah lapar
setengah mati karena aku tak menyantap makanan sama sekali seharian ini.
Sebelum les menyetir, perutku tak merasa lapar sama sekali karena membayangkan
satu jam berapa di balik kemudi setir. Usai les menyetir, otakku bahkan terlalu
lelah untuk mencerna apapun.
“Kenapa?” Laki-laki itu kemudian
memilih diam dan duduk di sampingku. Ia tahu, percuma saja memaksaku bicara di
saat yang paling kubutuhkan hanyalah diam.
Setelah sepuluh menit
membiarkanku tenggelam dalam isakan, ia masih mengelus-elus pundakku pelan.
Kalau aku berada di posisinya, pasti aku sudah tak sabar bertanya “kenapa”
untuk kedua kalinya.
Ia cuman diam memandangiku dengan
heran.
Walaupun aku jengkel setengah
mati karena ia sempat menghilang dari peredaran, toh aku tak punya
pilihan lain selain bercerita kepadanya.
Sambil berusaha menahan air mata
yang memenuhi pelupuk indera penglihatanku, mengalirlah kejadian tadi pagi dari
mulutku.
“Apa aku emang ditakdirkan untuk
ga bisa menyetir? Kamu tau kan sudah berapa kali aku ikut kursus menyetir?”
ucapku sambil terisak.
Ia menarik napas pelan.
Memandangku yang masih menangis seperti anak kecil yang kehilangan coklat kesukaannya.
“Apa selamanya aku ga akan punya
SIM? Ya udah, cuman buang-buang uang untuk kursus. Terus lupa lagi caranya
nyetir. Kayaknya aku ga akan pernah punya SIM,” sambungku dengan frustasi.
Selama beberapa menit, ia hanya
terdiam, seolah memberiku jeda untuk menenangkan diriku sendiri.
“Udah nangisnya?” Cuman dua kata
itu yang terucap dari bibirnya.
Aku tersenyum tipis dengan
responnya. Gemas rasanya cerita panjangku cuman direspon sesingkat dua kata.
Percayalah, tak mudah buatku
untuk menangis di depan orang lain. Entahlah, kadang aku merasa menangis itu
erat kaitannya dengan kata lemah atau minta dikasihani. Sebagai manusia yang
seringkali mengutamakan gengsi, tentu aku tak ingin minta dikasihani oleh
siapapun.
Sialnya, air mataku mudah sekali
menetes di depan laki-laki yang selalu menjadi tumpuanku berbagi. Bahkan aku
tak pernah merasa gengsi menitikkan air mata di hadapan laki-laki yang telah
menjadi tempatku bersandar selama tiga tahun terakhir.
“Bullshit kalo aku bilang,
‘ya udah ga apa-apa. Suatu saat kamu pasti bisa nyetir kok’. Kamu juga tahu
kalo itu omong kosong.”
Aku menatapnya dengan pandangan
kosong. Mungkin keinginanku memiliki SIM hanya akan menjadi angan belaka.
“Skarang udah puas belum
nangisnya? Kalo udah, makan dulu nasi gorengnya. Kamu galak kalo lagi laper,”
Ia menyodorkan bungkusan nasi goreng ke hadapanku.
Setelah memastikan tangisanku
sudah usai, ia melanjutkan “Jangan jadiin tabrakan tadi sebagai tolak ukur
kemampuanmu menyetir. Tabrakan tadi tuh ga berarti kamu ga akan bisa menyetir
selamanya. Kalo soal udah ngeles berkali-kali, tapi masih belum lancar nyetir,
ya udah, gimana lagi. Yang penting kamu sudah berusaha kan? Kamu tetap pergi
les menyetir. Aku bisa bayangin betapa sulitnya buat kamu untuk pergi ke tempat
les nyetir. Makanya, ga usah sedih kalo belum bisa nyetir. Semua ada waktunya,
Vi.”
Aku memandangnya perlahan.
Mencoba memahami makna setiap kalimat yang diucapkannya.
“Itu kalau soal belajar nyetir
ya. Tapi kalau kamu kepengen banget punya SIM sekarang juga, ga usah khawatir,
Vi.”
“Maksudnya?” Aku menuntut
penjelasannya. Kalau ia menyuruhku untuk mendapatkan SIM dengan cara yang tidak
jujur, lebih baik ia tak usah datang sekalian di hari Valentine ini. Parahnya,
berarti ia tidak benar-benar mengenalku. Seharusnya ia tahu betul aku ingin memperoleh
SIM itu dengan cara yang sewajarnya.
Belum sempat aku mencecarnya
lebih jauh, ia menyodorkan dua buah kartu yang terbuat dari karton ke tanganku.
“Selamat hari Valentine, Beb. Aku
tau kamu akhir-akhir ini stress karena masalah ga bisa nyetir. Ini aku kasih
SIM dan STNK sementara ya. Kamu belajar nyetir yang bener ya supaya dapat SIM
beneran. Untuk dinner-nya, nyusul ya sehabis projekku kelar dan ga ribet
lembur lagi. Oke?” Ia mengecup keningku pelan.
Aku memandangi dua kartu yang diukir
dengan tulisan tangannya yang begitu khas. Entah darimana idenya ia menuliskan
SIM sebagai singkatan dari Surat Ijin Mencintai dan STNK sebagai kepanjangan
dari Surat Tanda Naksir Kamu.
Sebuah perasaan hangat memenuhi
hati tatkala melihat usahanya. Aku yakin, tak mudah baginya untuk membuat
kreativitas semacam ini.
“Sori ya seharian ini aku
menghilang. Seharian ini meeting-ku padat banget. Terus pas jam istirahat,
aku buru-buru ke Gramedia untuk beli karton ini. Kamu tau kan aku paling ga
bisa mengerjakan keterampilan tangan semacam ini?” Ia tertawa kecil melihat
hasil kerjanya yang kini sudah berpindah ke tanganku.
Air mataku kembali menetes dengan
alasan yang berbeda. Ia selalu ada di sini. Ia hadir dalam setiap cerita yang
kutulis. Ia selalu mengupayakanku dalam kesibukannya dan ketidakmampuannya
dalam ber-multitasking. Ia membantuku mengepakkan sayap lebih jauh melalui
eksistensinya. Ia menopangku di saat aku sendiri tak mampu berdiri tegak di
atas kakiku sendiri
“Terima kasih, Eci. Makasih udah selalu
ada di sini,” aku memeluknya erat, memastikan bahwa ia adalah bagian hidup yang
tak akan pernah kulepaskan.
Notes :
Hai, guys! First of all, HAPPY
VALENTINE 😊 Sebenernya sempet galau mau kasih happy
ending atau sad ending untuk cerita ini. Tapi berhubung ini masih nuansa Valentine,
aku memutuskan untuk mengakhiri cerita ini dengan happy ending 😊
Mumpung masih nuansa Valentine, yuk, jangan lupa menunjukkan kasih sayang ke orang-orang
yang kita kasihi karena kasih tanpa perbuatan itu adalah suatu hoax semata
#aseeek #edisiBellabijak . Anyway, kabar menghebohkan soal kematian Ashraf
Sinclair tentunya memberikanku pelajaran untuk ga gengsian dalam menunjukkan
kasih sayang itu sendiri. Karena kita ga pernah tahu kapan terakhir kali orang
itu berada dalam genggaman kita. Have a lovely Valentine everyone 😊
With
love,
Bells