“Manusia tidak hidup sendirian di dunia ini tapi di jalan
setapaknya masing – masing. Semua jalan setapak itu berbeda – beda namun menuju
ke arah yang sama, mencari satu hal yang sama, dengan satu tujuan yang sama
yaitu Tuhan.”
-Rika-
Munculnya
sekumpulan tanda tanya di benak penikmat film mungkin adalah benang merah
paling esensial yang berkaitan dengan judul film. Pertanyaan klise seperti
“Masih pentingkah kita berbeda?” dan “Masih pentingkah kita mempermasalahkan
perbedaan tersebut?” merupakan tanda tanya yang terus digali sepanjang film
berdurasi 100 menit ini.
Alunan
cerita dimulai dengan lagu merdu khas gereja berjudul Gita Sorga Bergema.
Masjid, gereja, dan vihara ditampilkan secara bergantian sementara musik yang
sama masih terus mengalun. Permulaan film yang menceritakan tiga kisah berbeda
ini dimulai dengan peristiwa penusukan Pastur Albertus oleh orang yang tak
dikenal di depan gereja. Seperti fakta yang kerap kali muncul ke permukaan,
pemerintah (melalui wali kota Semarang) mengklarifikasi kejadian tersebut
sebagai murni kriminalitas walaupun muncul spekulasi bahwa peristiwa tersebut
terjadi atas nama perbedaan.
Selanjutnya,
barulah Hanung Bramantyo dengan gamblang mengantarkan penonton ke alur cerita
yang sesungguhnya. Ada Tan Kat Sun (Hengky Solaiman), pemilik restoran Chinese
Food dan Hendra (Rio Dewanto), anak pemilik restoran yang mengutamakan egonya.
Ada pula Menuk, pegawai restorann chinese food yang selalu berhijab dan menjalani
hidupnya dengan benar. Ditampilkan pula kedekatan antara Rika (Endhita), yang
baru saja bercerai dan berubah haluan menjadi kristiani, yang terlibat hubungan
akrab dengan Surya (Agus Kuncoro), aktor figuran yang belum juga meniti tangga
karirnya menjadi pemeran utama.
Penonton
boleh jadi kagum dengan kecermatan Hanung Bramantyo dalam mengangkat
fakta-fakta yang lebih baik dihindari oleh sebagian besar orang. Keterkejutan
awam dimulai saat Hendra yang bertengkar mulut dengan sekelompok pria berpeci
yang tengah berjalan menuju masjid. Stereotipe yang mengkaitkan terorisme
dengan agama tertentu muncul dalam caci maki yang saling dilontarkan. Belum
lagi kata “sipit” yang memekakkan telinga etnis Tinghoa, yang dihadirkan untuk
menggambar realitas sosial yang sesungguhnya.
Perbedaan
menjadi semakin nyata (jika belum layak disebut runcing) tatkala seorang ibu
berhijab yang membatalkan niatnya untuk makan di restoran chinese food yang
menjual makanan yang kerap disingkat menjadi B2. Walaupun pemilik restoran
sudah memisahkan semua peralatan masak (dari panci hingga sendok garpu),
tergambar jelas adanya ketidakpercayaan antara ibu berhijab dengan pemilik
restoran yang bermata sipit.
Kabar
burung yang seringkali menyebar di kalangan masyarakat ternyata juga menganggu
pikiran Abi, bocah kecil yang merupakan buah hati Rika. Abi merasa segan karena
banyak tetangganya yang mengatakan bahwa ibunya kini tak akan mengijinkannya
lagi untuk menginjakkan kaki ke masjid. Secara sederhana, Rika (dibantu oleh
Menuk) menjelaskan bahwa Abi tidak perlu khawatir karena Rika akan selalu siap
untuk mengantar Abi ke masjid.
Tak hanya
dianggap sebagai kafir karena berpindah agama, Rika juga harus menghadapi gosip
miring yang kerap menerpa wanita yang baru saja bercerai. Berbagai spekulasi
dari orang yang sebenarnya tak berkepentingan dalam hidup Rika memunculkan
konflik yang semakin panas antara Rika dengan Abi. Hal ini jelas menggambarkan
apa yang sebenarnya terjadi di kalangan masyarakat yang masih menganggap
perceraian sebagai hal yang tabu dan menghakimi orang yang bercerai (apalagi
pindah agama) sebagai orang yang paling bersalah di dunia, seolah dirinya
sendiri adalah malaikat yang tak punya dosa.
Selain
masalah perbedaan agama, perbedaan kedudukan antara laki-laki dan perempuan
juga ditampilkan dengan lugas (namun tetap indah) melalui pasangan suami istri
Menuk dan Soleh. Stereotipe bahwa
perempuan tidak berhak memiliki pekerjaan yang lebih mapan ditunjukkan saat
Soleh meminta Menuk untuk menceraikannya.
Alasannya
sederhana, Soleh merasa tak percaya diri tatkala Menuk memiliki penghasilan
yang tetap sekaligus tampil sebagai istri yang soleha, ibu yang penuh cinta
kasih, dan pekerja yang tekun. Sementara itu, Soleh tak kunjung memperoleh
pekerjaan yang dapat menghasilan lembaran uang.
Walaupun
perbedaan tersebut kerap memancing konflik, Hanung tetap berupaya memberikan
gambaran ideal mengenai relasi yang seharusnya terbentuk antara pihak yang
berbeda agama dan ras. Hal ini ditunjukkan dengan rutinitas istri Tan Kat Sun
sembahyang menggunakan hio sementara Menuk bersujud di atas sajadah, tepat di
samping tempat istri Tan Kat Sun menancapkan hio pada wadah abu.
Film
menjadi semakin nyata karena Hanung menampilkan perayaan besar beberapa agama
di Indonesia. Waktu yang terus bergulir menjadi indah dengan adanya berbagai
perayaan tersebut.
Tentunya
film ini masih meninggalkan sejumlah tanda tanya besar. Apakah mungkin seorang
pemeluk kristiani yang masuk kategori kelas menengah “rela” menghabiskan sisa
hidupnya bersama aktor figuran beragama Islam yang tak jelas masa depannya?
Masih adakah Ustad sebijaksana Ustad Wahyu, yang tak melarang pemeluknya untuk
menginjakkan kaki di tempat ibadah lain? Apakah mungkin seorang yang tak
mempercayai Yesus sebagai juru selamatnya diperbolehkan memerankan karakter Yesus
yang merupakan pusat perayaan keagamaan?
Biarlah
tanda tanya tersebut tersimpan dalam masing-masing benak karena toh Hanung tak
berusaha menggurui dengan memberikan solusi yang terbaik. Pertanyaan yang
penting untuk direnungi sekarang mungkin adalah
Masih pentingkah kita
berbeda?
Masih pentingkah kita
mempermasalahkan perbedaan tersebut?
Cheers,
Bella (2013 022 017)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar