Rabu, 12 November 2014

Ketika Tuhan Berbeda Makna

“Manusia tidak hidup sendirian di dunia ini tapi di jalan setapaknya masing – masing. Semua jalan setapak itu berbeda – beda namun menuju ke arah yang sama, mencari satu hal yang sama, dengan satu tujuan yang sama yaitu Tuhan.”
-Rika-
Munculnya sekumpulan tanda tanya di benak penikmat film mungkin adalah benang merah paling esensial yang berkaitan dengan judul film. Pertanyaan klise seperti “Masih pentingkah kita berbeda?” dan “Masih pentingkah kita mempermasalahkan perbedaan tersebut?” merupakan tanda tanya yang terus digali sepanjang film berdurasi 100 menit ini.

Alunan cerita dimulai dengan lagu merdu khas gereja berjudul Gita Sorga Bergema. Masjid, gereja, dan vihara ditampilkan secara bergantian sementara musik yang sama masih terus mengalun. Permulaan film yang menceritakan tiga kisah berbeda ini dimulai dengan peristiwa penusukan Pastur Albertus oleh orang yang tak dikenal di depan gereja. Seperti fakta yang kerap kali muncul ke permukaan, pemerintah (melalui wali kota Semarang) mengklarifikasi kejadian tersebut sebagai murni kriminalitas walaupun muncul spekulasi bahwa peristiwa tersebut terjadi atas nama perbedaan.


Selanjutnya, barulah Hanung Bramantyo dengan gamblang mengantarkan penonton ke alur cerita yang sesungguhnya. Ada Tan Kat Sun (Hengky Solaiman), pemilik restoran Chinese Food dan Hendra (Rio Dewanto), anak pemilik restoran yang mengutamakan egonya. Ada pula Menuk, pegawai restorann chinese food yang selalu berhijab dan menjalani hidupnya dengan benar. Ditampilkan pula kedekatan antara Rika (Endhita), yang baru saja bercerai dan berubah haluan menjadi kristiani, yang terlibat hubungan akrab dengan Surya (Agus Kuncoro), aktor figuran yang belum juga meniti tangga karirnya menjadi pemeran utama.

Penonton boleh jadi kagum dengan kecermatan Hanung Bramantyo dalam mengangkat fakta-fakta yang lebih baik dihindari oleh sebagian besar orang. Keterkejutan awam dimulai saat Hendra yang bertengkar mulut dengan sekelompok pria berpeci yang tengah berjalan menuju masjid. Stereotipe yang mengkaitkan terorisme dengan agama tertentu muncul dalam caci maki yang saling dilontarkan. Belum lagi kata “sipit” yang memekakkan telinga etnis Tinghoa, yang dihadirkan untuk menggambar realitas sosial yang sesungguhnya.

Perbedaan menjadi semakin nyata (jika belum layak disebut runcing) tatkala seorang ibu berhijab yang membatalkan niatnya untuk makan di restoran chinese food yang menjual makanan yang kerap disingkat menjadi B2. Walaupun pemilik restoran sudah memisahkan semua peralatan masak (dari panci hingga sendok garpu), tergambar jelas adanya ketidakpercayaan antara ibu berhijab dengan pemilik restoran yang bermata sipit.

Kabar burung yang seringkali menyebar di kalangan masyarakat ternyata juga menganggu pikiran Abi, bocah kecil yang merupakan buah hati Rika. Abi merasa segan karena banyak tetangganya yang mengatakan bahwa ibunya kini tak akan mengijinkannya lagi untuk menginjakkan kaki ke masjid. Secara sederhana, Rika (dibantu oleh Menuk) menjelaskan bahwa Abi tidak perlu khawatir karena Rika akan selalu siap untuk mengantar Abi ke masjid.

Tak hanya dianggap sebagai kafir karena berpindah agama, Rika juga harus menghadapi gosip miring yang kerap menerpa wanita yang baru saja bercerai. Berbagai spekulasi dari orang yang sebenarnya tak berkepentingan dalam hidup Rika memunculkan konflik yang semakin panas antara Rika dengan Abi. Hal ini jelas menggambarkan apa yang sebenarnya terjadi di kalangan masyarakat yang masih menganggap perceraian sebagai hal yang tabu dan menghakimi orang yang bercerai (apalagi pindah agama) sebagai orang yang paling bersalah di dunia, seolah dirinya sendiri adalah malaikat yang tak punya dosa.

Selain masalah perbedaan agama, perbedaan kedudukan antara laki-laki dan perempuan juga ditampilkan dengan lugas (namun tetap indah) melalui pasangan suami istri Menuk  dan Soleh. Stereotipe bahwa perempuan tidak berhak memiliki pekerjaan yang lebih mapan ditunjukkan saat Soleh meminta Menuk untuk menceraikannya.
Alasannya sederhana, Soleh merasa tak percaya diri tatkala Menuk memiliki penghasilan yang tetap sekaligus tampil sebagai istri yang soleha, ibu yang penuh cinta kasih, dan pekerja yang tekun. Sementara itu, Soleh tak kunjung memperoleh pekerjaan yang dapat menghasilan lembaran uang.

Walaupun perbedaan tersebut kerap memancing konflik, Hanung tetap berupaya memberikan gambaran ideal mengenai relasi yang seharusnya terbentuk antara pihak yang berbeda agama dan ras. Hal ini ditunjukkan dengan rutinitas istri Tan Kat Sun sembahyang menggunakan hio sementara Menuk bersujud di atas sajadah, tepat di samping tempat istri Tan Kat Sun menancapkan hio pada wadah abu.

Film menjadi semakin nyata karena Hanung menampilkan perayaan besar beberapa agama di Indonesia. Waktu yang terus bergulir menjadi indah dengan adanya berbagai perayaan tersebut.

Tentunya film ini masih meninggalkan sejumlah tanda tanya besar. Apakah mungkin seorang pemeluk kristiani yang masuk kategori kelas menengah “rela” menghabiskan sisa hidupnya bersama aktor figuran beragama Islam yang tak jelas masa depannya? Masih adakah Ustad sebijaksana Ustad Wahyu, yang tak melarang pemeluknya untuk menginjakkan kaki di tempat ibadah lain? Apakah mungkin seorang yang tak mempercayai Yesus sebagai juru selamatnya diperbolehkan memerankan karakter Yesus yang merupakan pusat perayaan keagamaan?

Biarlah tanda tanya tersebut tersimpan dalam masing-masing benak karena toh Hanung tak berusaha menggurui dengan memberikan solusi yang terbaik. Pertanyaan yang penting untuk direnungi sekarang mungkin adalah

Masih pentingkah kita berbeda?

Masih pentingkah kita mempermasalahkan perbedaan tersebut?



Cheers,
Bella (2013 022 017)




Tidak ada komentar:

Posting Komentar