(Benarkah) Tidak Ada Pilihan yang
Salah
Tanpa kita sadari, setiap detik
kehidupan dimulai dengan pilihan yang diikuti proses seleksi dan menjatuhkan
pilihan. Ada kalanya pilihan itu terasa mudah dan tak banyak menuntut
pertimbangan. Namun, tak sedikit pilihan yang sanggup membuat kening kita
berkerut dan bertanya-tanya “benarkah pilihan yang saya ambil?”
Walaupun sudah mendengar banyak sekali petuah, memilih kuliah beserta jurusannya tak pernah menjadi hal yang mudah (terutama bagiku. ;D). Pertanyaan yang memenuhi benak tak sekadar “mau kuliah dimana?” atau “mau mengambil jurusan apa?”. Lebih dari itu, prospek kerja di masa depan dan relevansi jurusan yang diambil dengan profesi impian turut menjadi pertanyaan yang tak mudah untuk dijawab.
Walaupun sudah mendengar banyak sekali petuah, memilih kuliah beserta jurusannya tak pernah menjadi hal yang mudah (terutama bagiku. ;D). Pertanyaan yang memenuhi benak tak sekadar “mau kuliah dimana?” atau “mau mengambil jurusan apa?”. Lebih dari itu, prospek kerja di masa depan dan relevansi jurusan yang diambil dengan profesi impian turut menjadi pertanyaan yang tak mudah untuk dijawab.
Masa SMA, yang digadang-gadang
sebagai momen pencarian jati diri,
menyadarkanku akan beberapa hal. Setelah sekian lama mendeklarasikan matematika
sebagai pelajaran favorit (semenjak SD sampai SMP), aku berbalik arah untuk
menjauhinya. Rumus trigonometri dan soal peluang tak lagi menarik minatku.
Anehnya, berita politik di media massa sanggup membuatku bangun lebih pagi untuk
sekadar melahap tulisan di koran. Tak hanya membaca, menulis turut menjadi
aktivitas yang tak pernah lepas dariku. Padahal selama ini, tak pernah terpikir
dalam benakku untuk belajar menulis dari novel karya Winna Effendi yang sering
menemani hari-hariku.
Hal-hal “ajaib” yang selama ini
terpendam dan akhirnya kutemukan tentu saja membawa perubahan terhadap
orientasi masa depanku. Dulu, saat temanku bertanya mengenai jurusan kuliah
yang menarik hatiku, dengan tegas aku akan menjawab “FMIPA”. (hehehe. Kok bisa
yah dulu berpikir untuk ambil jurusan ini?! :P). Sekarang, tak sedikit pun
kakiku melangkah menuju ke sana. Ada pun jurusan yang ingin kutekuni adalah
Ilmu Komunikasi, Kriminologi, dan Hukum.
Hal-hal “ajaib” itu rupanya sukses mengubah caraku menapaki masa depan.
Pertanyaan selanjutnya terasa
lebih berat untukku, yaitu “mau kuliah dimana?” Sejak awal, aku bertekad untuk
memasuki gerbang kuliah tanpa perlu mengikuti tes formal. Aku pun mencari
informasi mengenai universitas yang membuka jalur undangan tanpa tes dan ke
sanalah kakiku melangkah. Mengirimkan rapor, menunggu pengumuman, dan akhirnya
diterima merupakan proses yang berakhir menyenangkan untukku. Kupikir, sudah
tak ada lagi waktu yang tersita untuk melamun dan bertanya-tanya mengenai masa
depan.
Tiba-tiba saja, papa memintaku
untuk mengikuti tes masuk Perguruan Tinggi Negeri. Tak pernah terbayang dalam anganku
untuk ikut bergabung bersama ratusan pelajar lainnya guna memperebutkan kursi
yang terbatas. Rencana liburan panjang seusai Ujian Nasional yang sudah kurencanakan
matang-matang berubah drastis. Tak ada waktu seharian penuh untuk berbagi kisah
dengan novel Gagas Media kesukaanku. Kurva
supply dan demand, lapisan batuan, dan jenis agen sosialisasi mengisi waktu
pagiku. Materi baru dalam jumlah banyak dan harus diselesaikan dalam waktu
singkat meningkatkan pesimismeku. Ada banyak sekali pelajar yang sudah
mengincar PTN dan mempersiapkan diri jauh-jauh hari. Sementara aku hanyalah
anak IPA yang belum pernah berkenalan sedikit pun dengan kurva ekonomi.
Pada hari pengumuman, jantungku
berdetak lebih cepat walaupun otakku sudah berulangkali memperingatkanku untuk
bersikap realistis. Aku pun melonjak kegirangan tatkala aku dinyatakan lolos ke
sebuah perguruan tinggi negeri di Bandung dengan jurusan pilihan Ilmu
Komunikasi. Kupikir, masa depan kuliahku sudah terpeta dengan jelas. Pergi ke
Bandung dan memulai kehidupan sebagai mahasiswa.
Faktanya, menentukan pilihan yang menyangkut masa depan memang tak pernah mudah. Aku lupa memikirkan sebagian lain dari hidupku (selain kehidupan perkuliahan). Jika aku pergi ke Bandung, ada beberapa hal yang (mau tak mau) harus kulepaskan. Tak ada hari Jumat yang terasa menyenangkan karena ada les piano. Kesempatanku untuk mengajar di sebuah sekolah gratis pun mungkin akan lenyap. Belum lagi kegembiraan saat mengajar sekolah minggu yang tak akan kujumpai lagi. Sementara di satu sisi, (menurut banyak orang) prospek kerja mahasiswa lulusan PTN lebih luas dibandingkan mahasiswa non PTN.
Di tengah kebingungan, ada satu
kalimat sederhana yang dilontarkan salah seorang temanku tatkala aku
menceritakan permasalahanku. “Tak ada pilihan yang
salah, yang penting, jangan menjadikan pilihan itu menjadi salah”. Ia
tidak memberikan opini yang bersifat menghakimi, seperti pendapat bahwa lulusan
PTN memiliki prospek kerja yang lebih luas dibandingkan mahasiswa non PTN. Ia
hanya memintaku untuk membuat daftar peluang yang kudapatkan dan kesempatan
yang kulepaskan sebagai konsekuensi dari masing-masing pilihan.
Tentu saja masalahku tidak
langsung terpecahkan seusai pertemuan singkat itu. Eksekusi
pilihan tetap berada di genggamanku. Begitu juga tanggungjawab yang harus
dijalankan sebagai konsekuensi dari keputusanku. Namun, setidaknya,
aku menjadi lebih percaya diri dengan pertimbangan yang sudah kupikirkan
masak-masak.
Selama ini,
banyak orang mengatakan bahwa tak ada pilihan yang salah dalam roda kehidupan.
Jujur saja, aku tak begitu mempercayainya. Logikaku mengatakan, jika
tak ada pilihan yang salah, mengapa tak sedikit orang yang tidak bisa berada
dalam puncak kesuksesannya? Jika tak ada pilihan yang salah, mengapa banyak
mahasiswa yang menyesali jurusan yang dipilihnya semenjak awal? Jika tak ada
pilihan yang salah, mengapa banyak orang yang ingin memutar waktu dan mengganti
pilihannya di masa lampau? Jika tak ada pilihan yang salah, mengapa kita
bertemu dengan seseorang, jatuh cinta, dan akhirnya memutuskan untuk berpisah?
*curcol. Hehehe.*
Rupanya, ada sepenggal kalimat yang terputus dari petuah tersebut. Memang tak ada pilihan yang salah karena yang penting, kita tidak menjadikan pilihan itu menjadi salah. Aku belum memahami makna pernyataan ini sepenuhnya, tapi kira-kira begini caraku menafsirkannya dalam persoalan yang sedang kuhadapi.
Bukan merupakan sebuah kesalahan
jika aku memutuskan untuk tetap tinggal di Jakarta dan melangkah menuju kampus
yang semenjak awal kutuju. Namun, pergi ke Bandung dan belajar hidup mandiri
tanpa orangtua juga bukan merupakan pilihan yang salah. Loh, kok begitu? Jadi
mana yang harus dipilih?
Jika aku memilih untuk pergi ke Bandung, aku harus belajar mandiri seutuhnya, belajar dengan kesungguhan, dan memanfaatkan peluang yang ada di kampus dengan cara terlibat aktif dalam kegiatan kemahasiswaan. Jika aku memilih tinggal di Jakarta, aku harus belajar dengan tekun di kampus sambil memaksimalkan waktu dan peluang yang ada di sini. Karena di sekitar tempat tinggalku terdapat berbagai kursus bahasa, aku tak boleh menyia-nyiakan kesempatan untuk mempelajarinya. Karena aku sudah dipercaya menjadi pengajar di sekolah minggu, aku tak boleh malas menyiapkan materi dan terus berlatih mengorganisir setiap kegiatan. Karena aku punya fasilitas internet, laptop, dan waktu luang di hari Sabtu, aku wajib menulis blog agar kemampuanku terasah.
Intinya,
sebanyak apa pun peluang dari sebuah pilihan, peluang itu akan menjadi sia-sia
jika kita tidak cekatan dalam memanfaatkannya. Tidak ada pilihan yang salah,
yang penting, jangan menjadikan pilihan itu menjadi salah. Bersungguh-sungguh
dalam mengambil keputusan dan memperjuangkan apa yang sudah kita yakini sebagai
pilihan merupakan langkah nyata dalam rangka menjadikan pilihan itu menjadi
pilihan terbaik. Tak ada pilihan yang paling benar atau pun pilihan yang sangat
buruk. Tepat atau tidaknya keputusan yang kita ambil, sangat bergantung pada
peran kita untuk menjadikan pilihan itu menjadi tepat adanya.
Have a nice day, people ! :D
N.B. : thanks, Kak Gideon for the
advice. Btw, kalimat itu jadi motto hidupku loh! ;D
Picture taken from shutterstock.com