Kita mungkin sudah lupa rasanya berbagi cinta, begitu juga dengan rasa
sakit yang tertinggal.
Layar ponsel yang berkedap-kedip
memaksaku mengalihkan perhatian dari tumpukan artikel yang menyita segenap
pikiran. Sebuah missed call mampir di
layar ponselku, yang sudah delapan bulan lamanya diam membisu.
Sebuah nama yang tak asing,
walaupun kini sudah menjelma menjadi sosok asing untukku, terpampang jelas di sana.
Spontan, mataku mengerjap cepat. Jantungku berdetak dengan irama maraton. Sesuatu
yang sudah lama tak kurasakan, kecuali ketika aku jumpalitan mengikuti
pertandingan bulutangkis.
Tak salah lagi, beberapa huruf
bertuliskan namanya masih terukir di tempat yang sama. Seolah memastikan bahwa
aku tak sedang berkhayal di tengah deadline yang menumpuk.
Tiba-tiba, aku teringat beberapa akun galau di timeline salah satu aplikasi chatting berwarna hijau muda. “Setahun yang lalu, kita bisa bercerita tanpa henti. Sekarang, jangankan bercerita, bilang ‘Hai’ saja aku berpikir seribu kali.”
Tiba-tiba, aku teringat beberapa akun galau di timeline salah satu aplikasi chatting berwarna hijau muda. “Setahun yang lalu, kita bisa bercerita tanpa henti. Sekarang, jangankan bercerita, bilang ‘Hai’ saja aku berpikir seribu kali.”
Biasanya, aku tak peduli dengan
foto-foto berisi kalimat galau khas anak muda itu. Namun, hari ini, khusus hari
ini saja, kuakui, akun-akun yang selama ini kupikir tak ada gunanya itu ada
benarnya juga.
Missed call itu memaksa otakku mengingat hal-hal yang rasanya tak
ingin kuingat. Tanpa sadar, jemariku membuka beberapa percakapan kita, yang
sudah lama berkarat di ponselku.
Perasaanku campur aduk. Rindu itu
menyergap begitu saja.
Sudah lama rasanya tak mendengar
ucapan maaf dari bibirmu tatkala kamu selalu tertidur di tengah-tengah
percakapan panjang nan seru. Sudah lama rasanya tak mendengar lelucon garing
yang selalu mampu membuat aku tersipu malu. Sudah lama rasanya tak melirik jam
dinding dan menunggu jarum panjang menunjuk angka tujuh, waktu dimana pemilik missed call tadi tak lagi disibukkan
dengan rengekan anak kecil ataupun tugas yang sukses membuat kantung matanya
semakin tebal.
Ahh, rupanya memori itu masih
tersimpan di benakku. Hanya menunggu waktu yang tepat untuk meronta dan keluar
dari jeratan kata lupa.
Jemariku masih terus membuka
sisa-sisa percakapan yang belum sempat kuhapus karena alasan kesibukan.
Padahal, mungkin, aku sendiri yang tak ingin kehilangan jejaknya. Aku yang
terlalu takut kehilangan bayang terakhir yang ia tinggalkan atas nama cinta.
Air mataku menetes tatkala
mengingat masa-masa sulit yang telah berlalu. Ketika cinta tak lagi menjadi
topik favorit kita. Digantikan dengan perdebatan yang sebenarnya tak perlu diucapkan.
Sampai akhirnya, kita memutuskan untuk berselisih jalan dan mengambil rute yang
berbeda.
Tak lama setelah berpisah, kita
masih saling bicara, mencoba menanggalkan rindu yang masih bergelung. Aku masih
ingat betul perasaan sedih yang harus kuhirup tatkala ia mulai memanggilku
dengan nama panggilan yang sering digunakan teman-temanku. Tak ada lagi
panggilan lucu nan unyu ala orang yang sedang jatuh cinta. Tak ada lagi tawamu yang terpingkal-pingkal kala menyaksikan film kartun ala Disney kesukaanmu.
Rasanya begitu gelap dan asing. Ketika itu, kita masih saling bicara walaupun hati meronta karena perubahan yang begitu drastis. Perubahan yang memaksaku untuk berhenti meletakkanmu di tempat yang spesial.
Rasanya begitu gelap dan asing. Ketika itu, kita masih saling bicara walaupun hati meronta karena perubahan yang begitu drastis. Perubahan yang memaksaku untuk berhenti meletakkanmu di tempat yang spesial.
Setelah ribuan detik berlalu, aku
belajar hidup tanpa warnamu. Perlahan, puluhan memori indah mulai membingkai
perjalanan hidupku. Kesibukan yang menyita waktu setidaknya mampu memaksaku
untuk berhenti menangis dan memulai hal-hal baru.
Kini, ketika missed call itu terpampang nyata di layarku, aku hanya dapat
termenung dan menunggu. Terlalu takut untuk bertindak. Terlalu takut bahwa aku
akan jatuh cinta lagi pada sosok yang sama. Terlalu takut bahwa rasa yang
terpendam itu kembali muncul ke permukaan. Terlalu takut bahwa semua tak lagi
sama.
Biarlah waktu yang menjawab
semuanya. Antara aku dan missed call
yang tak tentu maknanya itu.
Notes
:
Hai
semua :D Rasanya sudah lama sekali sejak terakhir kali aku menulis karena aku
memang ingin menulis (bukan karena deadline majalah atau tugas kuliah). Daaaaan
.. .. .. *drumroll* rasa senang sekali bisa kembali menulis karena keinginan
sendiri.
Oh
ya, biasanya, setelah aku posting, pasti ada beberapa orang yang bertanya “apakah ini berdasarkan pengalaman pribadi?”. Sebelum ditanya, aku ingin menjelaskan kalau ini hanyalah
fiksi semata. Yeah. :D
Btw,
please your comment bellow. It’s my pleasure to know your opinion about
this. :D
With Love,
Bella